Jumat, 23 Oktober 2009

Lampiran: Bahan Konferensi Pers

Akhiri Konflik dan Percayakan Masyarakat Kasepuhan dalam Mengelola Sumberdaya Alam

Komunitas Kasepuhan merupakan sebutan kepada kelompok masyarakat yang masih mempertahankan system nilai, norma, kepercayaan dan tata karma dalam kehidupan social budaya, social ekonomi dan sebagainya, masih berdasarkan pengetahuan yang diwarisi para leluhur (sepuh atau kolot), seperti: tatali paranti karuhun dan berpedoman pada hukum agama (Islam). Upacara adat “Seren Taun” merupakan salah satu acara adat dan kekhasan komunitas Kasepuhan yang dirayakan setahun sekali untuk syukuran petani kepada pemilik kehidupan yang telah memberikan perlindungan kepada manusia dan hasil pertaniannya.

Dikisahkan asal usul leluhur komunitas Kasepuhan berhubungan dengan para penguasa Kerajaan Sunda Hindu yang berpusat di Pakuan Pajajaran – Bogor. Selain itu, dihubungkan pula dengan keturunan Pancer Pangawinan. Saat ini, pusat kebudayaan Komunitas Kasepuhan di Sukabumi, berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yakni: Kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Sinaresmi. Diperkirakan jumlah keseluruhan Komunitas Kasepuhan sekitar 25.000 jiwa. Mereka tinggal menyebar di wilayah pemerintahan Sukabumi dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Keberadaan komunitas Kasepuhan yang berdiam di wilayah pemerintahan Desa Sirnaresmi dan desa-desa sekitarnya, sangat memprihatinkan dan taraf kesejahteraan hidupnya semakin menurun. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dan aturan pemerintah yang diskrimintatif, yang mana tanah dan kekayaan alam di wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi dan diberikan hak kepada perusahaan kayu Perum Perhutani, hutan lindung dan taman nasional, sehingga masyarakat kehilangan hak dan akses atas sumber-sumber kehidupannya. Menteri Kehutanan pada tahun 2003 mengeluarkan Surat Keputusan No. 174/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 ha, yang mencaplok lahan garapan dan wilayah kelola masyarakat.

Kelembagaan adat dan pemerintah desa kehilangan otoritas dan kontrol dalam pengurusan sumberdaya alam. Masyarakat semakin banyak kehilangan hak dan akses atas lahan garapan, sehingga menurunkan pendapatan ekonomi. Berulang-ulang kali masyarakat ditangkap dan berurusan dengan petugas kepolisian dan Jagawana, karena dianggap “pencuri” tanaman kayu yang ditanam petani. Pemerintah mengabaikan peran dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Ancamannya, masyarakat akan semakin miskin, hidup tidak tenteram dan kehilangan kemandirian dalam memajukan kehidupannya.

Pengamanan dan pengawetan kawasan hutan yang selalu jadi dalih untuk menggusur paksa masyarakat, kenyataannya tidak membuat hutan semakin baik, sebaliknya hasil hutan dan isi perut bumi terus dikuras. Petugas tidak mampu mencegah “pencurian kayu” dan “penambangan ilegal” yang dibekingi pemodal dan dilindungi aparat keamanan. Pemerintah secara tidak adil melarang rakyat setempat mengelola sumberdaya alam dan disisi lainnya, membiarkan beroperasinya perusahaan pemegang ijin tambang (seperti: PT. Chevron Salak dan PT. Antam) dan puluhan ijin perusahaan perkebunan (seperti: perusahaan teh PT. Nirmala Agung dan PTPN VIII), pabrik industri dan sebagainya, yang berlokasi di kawasan hutan sekitar.

Situasi ini bertentangan dengan konstitusi dan peraturan lainnya, serta rasa keadilan. Seharusnya, pemerintah wajib melakukan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat Kasepuhan. Lihat, Pasal 18 B UUD 1945, bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat ….”; “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. (Pasal 28 A UUD 1945). “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini…”(UU tentang HAM No. 39 tahun 1999, Pasal 71).

Berdasarkan situasi social dan keharusan penegakan hukum, maka sudah sepatutnya Menteri Kehutanan dan Pemerintah Daerah Sukabumi, serta pihak pengambil kebijakan lainnya, segera bertindak mengeluarkan kebijakan untuk mengakhiri konflik hingga tidak berlarut-larut dan menimbulkan keresahan di masyarakat maupun ketidakpercayaan kepada pemerintah. Ada tiga hal yang perlu dilakukan, sebagai berikut:
  1. Melakukan musyawarah penataan kembali batas kawasan hutan negara dan hutan yang diklaim sebagai kawasan hutan adat, seperti: leuweng awisan (kawasan hutan keramat dan bekas kampung tua), leuweng titipan (hutan penyangga dan dilindungi), leuweng garapan (hutan yang dapat digarap), serta perencanaan pengelolaannya. Musyawarah dan mufakat dilakukan tanpa tekanan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat Kasepuhan untuk seluas-luasnya menentukan keputusan dan haknya dalam setiap musyawarah.
  2. Menghentikan tindakan intimidasi, penangkapan, tekanan dan pelarangan terhadap masyarakat Kasepuhan untuk memanfaatkan hasil kayu dan bukan kayu dari lahan garapan kebun tanaman (talunt). Selanjutnya, pemerintah dan petugas kehutanan harus percaya kepada kemampuan dan pengetahuan masyarakat Kasepuhan dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan.
  3. Mengeluarkan kebijakan politik dan hukum untuk perlindungan hak-hak masyarakat Kasepuhan di Sukabumi.

Terima Kasih.


Penanggung Jawab



Y.L. FRANKY
Yayasan PUSAKA,
Kompleks TNI AL, Jl. Teluk Parigi Blok A. 95
Pasar Minggu, Jakarta Selatan (12520)
Telp/Fax. 021 – 7892313. Email: yay.pusaka@gmail.com
Kontak HP. 0813 1728 6019 dan 0878 8223 6991 (sementara)

UGIS SUGANDA
Perwakilan (SABAKI)
Kesatuan Adat Banten Kidul
Alamat: Desa Sirnaresmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi
Kontak HP. 0859 2187 3839



SURAT PUSAKA KEPADA BUPATI SUKABUMI TENTANG AKSI KARTU POS


Kepada Yth:


Bapak Bupati Kabupaten Sukabumi


Di Tempat.-


Dengan hormat,

Pertama-tama, kami menyampaikan rasa duka yang mendalam dan simpatik terhadap warga korban meninggal dan menderita sakit, serta kerugian harta benda, oleh karena peristiwa gempa bumi yang terjadi di wilayah Kabupaten Sukabumi. Kami berharap pemulihan atas situasi menyedihkan ini dapat secepatnya tertangani. Kiranya, bencana ini dapat memberikan pelajaran bagi kita semua untuk dapat menangani dan mengurangi dampak bencana dengan lebih tanggap dan peduli.


Kedua, dalam suasana Idul Fitri, kami ucapkan Minal Aidin wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.


Ketiga, kami sampaikan bahwa sepanjang tanggal 9 Agustus 2009 hingga surat ini dikirimkan, Yayasan PUSAKA telah mengirimkan dan menggalang ‘Kartu Pos’ dari publik luas, guna mendapatkan dukungan public dalam kerangka aksi advokasi meminta perhatian dan komitmen pengambil kebijakan, utamanya kepada Pemerintah Daerah Sukabumi untuk memberikan kebijakan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak komunitas Kasepuhan di Sukabumi.


Dari ratusan Kartu Pos yang terkumpul dan kami kirimkan kepada Bupati Sukabumi ini, sebagian besar penulis mengharapkan bapak Bupati memberikan komitmen yang mendalam terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Kasepuhan di Sukabumi. Keinginan dan dukungan ini, terkait erat dengan keprihatinan atas permasalahan dan realitas social yang dihadapi oleh komunitas tersebut, menyusul ditetapkannya sebagian besar kawasan kelola masyarakat Kasepuhan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, adanya peristiwa kekerasan yang berulang kali terjadi, kriminalisasi, ancaman, pelarangan dan pembatasan dalam akses pemanfaatan sumberdaya alam, diskriminasi atas pengetahuan dan corak produksi masyarakat. Selain itu, lingkungan alam setempat mengalami kerusakan berarti oleh ulah warga yang tidak bertanggung jawab dan dibiarkan oleh aparat negara.


Situasi ini berdampak menurunnya produktifitas masyarakat, kemiskinan dan mengancam keselamatan rakyat di masa depan. Hal ini jelas bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundangan-undangan di negeri ini. Kami mengkhawatirkan jika hal ini dibiarkan dan pemerintah lalai menjalankan tugasnya maka akan menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan menimbulkan aksi protes yang keras hingga pembangkangan social, yang ongkos sosialnya sangat mahal, sebagaimana yang sudah terjadi dibeberapa daerah sekitar.


Keempat, kami berharap pemerintah daerah dalam hal ini bapak Bupati yang memiliki kewenangan dan mempunyai kewajiban untuk melindungi warganya kiranya dapat mendorong, memprakarsai, memfasilitasi dan mengeluarkan keputusan kebijakan untuk perlindungan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat Kasepuhan di Sukabumi, masyarakat dapat diberikan kepercayaan atas pengetahuan mereka dalam mengelola sumberdaya alam yang sudah berlangsung turun temurun, serta dapat mengakui hak-hak mereka atas tanah-tanah garapan, tanah dan kawasan hutan adat, serta kekayaan alam lainnya.


Akhirnya, atas tanggapan, kesungguhan dan komitmen bapak Bupati dan jajarannya dilingkup Pemerintah Daerah Sukabumi untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera, kami haturkan terima kasih.



Jakarta, 5 Oktober 2009



Hormat Kami,



Y.L. Franky

Direktur Yayasan PUSAKA

SOLIDARITAS UNTUK PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT KASEPUHAN

Komunitas Kasepuhan merupakan sebutan kepada kelompok masyarakat yang masih mempertahankan system nilai, norma dan perilaku sehari-harinya dalam kehidupan social budaya, kepercayaan dan social ekonomi, berdasarkan pengetahuan yang diwarisi para leluhur (sepuh atau kolot). Upacara adat “Seren Taun” merupakan salah satu acara adat dan kekhasan komunitas Kasepuhan yang dirayakan setahun sekali untuk syukuran petani kepada pemilik kehidupan yang telah memberikan perlindungan kepada manusia dan hasil pertaniannya.

Norma, tata krama dan kebiasaan tata cara adat warisan dari nenek moyang disebut tatali paranti karuhun dan hukum agama Islam merupakan pedoman masyarakat dalam beraktivitas untuk hidup lebih tertib, aman dan harmonis, serta terdapat pantangan yang jika dilanggar akan menimbulkan bencana yang dalam bahasa Sunda disebut kabendon.

Dikisahkan asal usul leluhur komunitas Kasepuhan berhubungan dengan para penguasa Kerajaan Sunda Hindu yang berpusat di Pakuan Pajajaran – Bogor. Selain itu, dihubungkan pula dengan keturunan Pancer Pangawinan. Saat ini, pusat kebudayaan Komunitas Kasepuhan di Sukabumi, berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yakni: Kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Sinaresmi. Diperkirakan jumlah keseluruhan Komunitas Kasepuhan sekitar 25.000 jiwa. Mereka tinggal menyebar di wilayah pemerintahan Sukabumi dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Keberadaan komunitas Kasepuhan yang berdiam di wilayah pemerintahan Desa Sirnaresmi dan desa-desa sekitarnya, sangat memprihatinkan dan taraf kesejahteraan hidupnya semakin menurun. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dan aturan pemerintah yang diskrimintatif, yang mana tanah dan kekayaan alam di wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi dan diberikan hak kepada perusahaan kayu Perum Perhutani, hutan lindung dan taman nasional, sehingga masyarakat kehilangan hak dan akses atas sumber-sumber kehidupannya. Menteri Kehutanan pada tahun 2003 mengeluarkan Surat Keputusan No. 174/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 ha, yang mencaplok lahan garapan dan wilayah kelola masyarakat.

Kelembagaan adat dan pemerintah desa kehilangan otoritas dan kontrol dalam pengurusan sumberdaya alam. Masyarakat semakin banyak kehilangan hak dan akses atas lahan garapan, kalaupun terpaksa menggarap dan memanfaatkan hasil hutan akan ditangkap dan mendapat diintimidasi. Pemerintah mengabaikan peran dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Ancamannya, masyarakat akan semakin miskin, hidup tidak tenteram dan kehilangan kemandirian dalam memajukan kehidupannya.


Situasi ini bertentangan dengan konstitusi dan peraturan lainnya, serta rasa keadilan. Seharusnya, pemerintah wajib melakukan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat Kasepuhan. Lihat, Pasal 18 B UUD 1945, bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat ….”; “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. (Pasal 28 A UUD 1945). “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini…”(UU tentang HAM No. 39 tahun 1999, Pasal 71).


Pemerintah Daerah yang mempunyai kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan diharapkan dapat menegakkan, memajukan dan mewujudkan keinginan masyarakat Kasepuhan untuk mendapatkan perlindungan politik dan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak social ekonomi dan budaya. Pada gilirannya komunitas Kasepuhan dapat mempunyai otoritas dan hak-hak dalam mengelola sumberdaya alam, mengembangkan dan memanfaatkannya secara adil dan berkelanjutan, serta tidak mengabaikan hak-hak masyarakat berkepentingan lainnya. Sebaliknya, kepercayaan dan kebijakan pemerintah kepada masyarakat dapat berarti keadilan dan demokrasi sudah dijalankan.


Dukungan masyarakat luas sangat diperlukan guna mendesak pemerintah untuk mau dan mewujudkan aspirasi komunitas Kasepuhan. Karena itulah kami mengundang dan menganjurkan Anda bersolidaritas untuk mengambil bagian mengirim pesan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi melalui Kartu Pos ini. Silahkan Anda nyatakan pendapat dan mendukung aspirasi masyarakat, serta meminta agar pemerintah segera mengeluarkan kebijakan politik dan hukum yang memberikan perlindungan terhadap keberadaan dan hak-hak komunitas Kasepuhan, guna mewujudkan keadilan dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.

Kartu Pos ini akan digabungkan dengan kartu pos lainnya untuk dikirimkan kepada Pemda Sukabumi. Hal-hal yang kurang jelas, silahkan ditanyakan kepada pengorganisasian kegiatan penggalangan dukungan ini.

Terima Kasih



Y.L. FRANKY

Penanggung Jawab

Yayasan PUSAKA,

Kompleks TNI AL, Jl. Teluk Parigi Blok A. 95

Pasar Minggu, Jakarta Selatan (12520)

Telp/Fax. 021 – 7892313. Email: yay.pusaka@gmail.com


Mendesak 11 Langkah Darurat Untuk Reduksi Emisi Dalam Program Kerja 100 Hari SBY-Boediono

......komitmen menurunkan emisi di dalam negeri menjadi sangat penting. Tak kalah penting dari upaya terus menuntut negara-negara Annex 1 dalam Protokol Kyoto menurunkan emisi mereka secara signifikan. Indonesia perlu menyerukan upaya reformasi struktur perekonomian dunia yang sejak lama menempatkan negara-negara Selatan sebagai penyedia bahan mentah belaka dan bahkan pada perkembangan selanjutnya menjadi penyedia jasa pembersihan residu kemajuan negara-negara Annex 1…….

  1. Memerintahkan Menteri Pertanian untuk mencabut Peraturan Menteri Pertanian No 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, karena konversi lahan gambut merupakan sumber emisi karbon terbesar di Indonesia.
  2. Memerintahkan Menteri Kehutanan untuk mencabut sejumlah Kebijakan yang berkaitan dengan konversi hutan alam dan lahan gambut untuk keperluan industri skala besar. Hal ini karena konversi hutan alam dan lahan gambut merupakan sumber emisi karbon kedua terbesar di Indonesia. Pencabutan kebijakan konversi hutan alam dan lahan gambut ini akan menjaga cadangan karbon dan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia.
  3. Memerintahkan Menteri Kehutanan untuk mengkaji kembali kebijakan yang memberi peluang besar bagi offset negara industri melalui skema pasar di kawasan hutan Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain: (1) P. 68/Menhut-II/2008 Penyelenggaran Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, (2) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, (3) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung, karena memberi peluang besar bagi offset negara industri.
  4. Memastikan bahwa Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang dapat menghasilkan Rencana Tata Ruang Pulau-pulau Besar pada tahun 2009 yang mampu memastikan pengurangan kerentanan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim, perlindungan hak terhadap warga negara kebanyakan, dan pemulihan lingkungan yang telah rusak. RTRWN ini harus menjadi acuan bagi semua rencana pembangunan, program hingga penerbitan ijin sektoral.
  5. Memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM serta Menteri Kehutanan untuk melakukan optimalisasi penegakan hukum atas segala jenis kejahatan kehutanan dan kejahatan lingkungan lain yang terkait.
  6. Mengeluarkan Keputusan Presiden untuk perlindungan dan rehabilitasi ekosistem gambut.
  7. Melaksanakan rekomendasi Komite PBB Penghapusan Diskriminasi Rasial - CERD (CERD/C/IDN/CO/3, 15 Agustus 2007) 3
  8. Memulai suatu proses penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang hak-hak Masyarakat Adat.
  9. Memulai suatu proses kaji ulang kebijakan sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian skala besar, pertambangan dan energi yang memiliki dampak terhadap emisi Gas Rumah Kaca, yang mempertinggi kerentanan lingkungan dan manusia terhadap dampak perubahan iklim secara transparan dan partisipatif
  10. Memastikan dilindunginya hak-hak perempuan seperti yang tertera dalam Konvensi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), bukan hanya karena perempuan dianggap sebagai kelompok rentan namun karena perempuan juga mempunyai peran penting dalam proses mitigasi maupun adaptasi.
  11. Meninjau ulang kebijakan pembangunan PLTU Batubara. Indonesia harus mengurangi perannya sebagai penyedia bahan mentah industri dan kebutuhan bahan bakar fosil dunia, dengan mereformasi pola produksi dan konsumsi energinya. Dan segera mempertimbangkan pengembangan energi terbarukan yang terdesentralisasi.

baca selengkapnya:
Surat Terbuka Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia Kepada Presiden Menyikapi Komitmen Indonesia Dalam Mereduksi Emisi Nasional

Walhi - Greenpeace - Sawit Watch - Down to Earth - IYFFCC (Indonesian Youth Forum for Climate Change) - Rainforest Action Network - People Forest Program - ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) - AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) - FWI (Forest Watch Indonesia) - Solidaritas Perempuan - HuMa - Telapak - KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) - BIC (Bank Information Center) - Sarekat Hijau Indonsia (SHI) - Jikalahari - Jatam, Kiara - JKPP - Save Our Borneo (SOB) - Scale Up – Pusaka

Rabu, 14 Januari 2009

Ecuador: Mining, debt and indigenous struggles

http://www.greenleft.org.au/2008/776/40019

Duroyan Fertl
22 November 2008


On November 17, thousands of indigenous and environmental activists rallied across Ecuador in protest against the introduction of a new mining law by the government of President Rafael Correa.

The protests, organised largely by the Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (CONAIE — Ecuador’s largest indigenous federation), marked the beginning of a week of protests by social, environmental and indigenous movements against the potentially environmentally destructive consequences of a number of proposed new laws — including laws relating to mining, water and the introduction of large-scale shrimp farming.

Ecuador’s weak economy is heavily dependent upon mineral extraction — especially oil — and this has had a catastrophic effect on the environment and communities in affected areas.

A large part of the Ecuadorian Amazon is now being described as an “Amazonian chernobyl” after 18 billion gallons of polluted water were released into the water system by oil-giant Chevron Texaco. This has resulted in thousands of deaths, cancer, birth defects and massive environmental collapse.

Affected communities are currently pursuing Chevron in court.

Mining companies are also known to frequently employ tactics of intimidation and violence to silence local protest, including the hiring of armed thugs and occasionally killing people.

While Correa has condemned the action of the mining companies, he has also been critical of anti-mining groups that employ direct action tactics, attempting to shut down mining operations.

Correa, elected in 2006 on a promise to spend more on social need, has pledged to use money from mining on improving the well-being of the 50% of the country’s population living in poverty.

Nonetheless there is, however, a strong sentiment in Ecuador to have the country declared “mining-free”.

Alberto Acosta, who has been one of Correa’s closest advisors, has advocated a total ban on open-cut mining, and CONAIE have demanded that indigenous and other affected communities have a power of total veto over mining operations in their areas.

Correa, however, has opposed both a mining ban and the inclusion of a veto in the country’s recently adopted new constitution. He has declared that Ecuador will pursue only “sustainable” mining.

The new mining law increases government control over the sector, requiring companies to negotiate payment of royalties of at least 5% to the government, as well as placing stricter environmental safeguards on all mining operations, including regular site inspections.

However, CONAIE president Marlon Santi rejected the new law on the basis that social sectors did not participate in its design.

Jose Cueva, a community leader from Intag — a region heavily affected by mining — called for a delay in the mining law.

“The president needs to first pass a food sovereignty law, a water law and a biodiversity law. Then we can have a national dialogue over what to do about mining”, said Cueva.

On November 19, CONAIE led a further 10,000 people in a march from Ecuador’s northern highlands in protest against the draft water law, which they are worried could lead to privatisation and pollution by mining companies.

Activists invoked the country’s new constitution — approved by nearly 70% of the vote in September — in defence of water rights for communities. The new constitution specifically grants legal rights to the environment and protection from being spoiled.

The protests are already being seen as a resurgence of Ecuador’s social movements, which had fallen into disarray over the past few years.

While they have offered more or less critical support to Correa, especially in getting the new constitution passed, many social movements — especially CONAIE — are sceptical about getting too close to government.

However, the victory over the right-wing opposition in the constitutional referendum has emboldened the social movements to reorganise and demand more of the government.

Meanwhile, Ecuador, which relies on oil exports for almost half of its foreign exchange income, is already suffering from the recent fall in global oil prices as well as aging infrastructure in urgent need of replacement.

After a recent review into its foreign debt found that a significant portion is “illegal”, Correa delayed a US$30 million interest repayment on the country’s debt.

Ecuador’s total foreign debt is $10.3 billion, equal to 21% of Ecuador’s gross domestic product. This was all accumulated under previous administrations — when Ecuador was renowned for its systemic corruption.

Both Correa and finance minister Maria Elsa Viteri have refused to rule out a complete default on all debts. Only one fifth of them were taken out for development projects, with the rest used for debt refinancing.

Correa has also announced that Ecuador is seeking a $1 billion loan from the Inter-American Development Bank to finance key infrastructure projects.

Ecuador’s electoral council is expected to call the 2009 elections on November 23, the first elections under the new constitution. All 5993 elected positions in Ecuador will be up for re-election, including the presidency.

While Correa has maintained strong support for his policies, he cannot afford to further alienate the indigenous population in the lead-up to the elections.

CONAIE and other social movements have been responsible for overthrowing three presidents in the past decade. Their renewed strength means they are likely to demand meaningful change — and a break from the current economic system that is destroying their communities.

Jumat, 22 Agustus 2008

RANGKUMAN

LOKAKARYA NASIONAL HAK ASASI MANUSIA VII

”QUO VADIS PEMAJUAN DAN PENEGAKAN HAM DI INDONESIA”

Lokakarya nasional hak asasi manusia secara tradisional merupakan kegiatan tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, untuk melihat kembali perkembangan hak asasi dan menentukan langkah lebih lanjut. Lokakarya yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 Juli 2008 ini dilakukan bekerjasama dengan Legal Development Facility Australia, dengan mengambil tempat di Jakarta dan diikuti oleh sekitar 150 peserta, mewakili organisasi pemerintah (nasional maupun lokal), akademisi, media, non-pemerintah dan perorangan. Lokakarya diawali oleh sambuta ketua Komnas HAM dan dibuka secara resmi oleh wakil presiden. Pembukaan ini dilanjutkan dengan keynote speech oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.

Lokakarya mengambil tema ”10 tahun reformasi: Quo Vadis pemajuan dan penegakan hak asasi di Indonesia”; yang secara khusus hendak merefleksikan perjalanan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia sejak jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto. Perbincangan dilakukan dalam pertemuan pleno dan dilanjutkan dengan pembahasan dalam dua sub-tema besar. Subtema pertama menyangkut refleksi atas ‘Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Sebagai Landasan Penegakan Keadilan Sosial: 10 tahun reformasi’ dan sub-tema kedua refleksi atas “Pelaksanaan Hak Sipil dan Politik: 10 tahun reformasi’. Masing-masing subtema ini dibicarakan lebih intensif dalam sidang pleno secara berseri yang menghadirkan panelis sesuai keahlian dan atau pengalamannya dan dilanjutkan dalam sesi-sesi terfokus. Sesi-sesi terfokus subtema pertama mencakup (1) “Problem dan tantangan terhadap akses atas hak ekonomi, sosial dan budaya”, (2) “Problem dan tantangan dalam pelaku pelaksanaan hak ekonomi, sosial dan budaya, (3) “Problem dan tantangan hak ekonomi, sosial budaya dari perspektif korban”. Subtema kedua juga dipanelkan dalam empat sesi yang masing-masing membicarakan (1) pelaksanaan kebebasan beragama, (2) hak asasi manusia dengan kebijakan pertahanan dan keamanan dan (3) praktek-praktek penyiksaan dan bentuk-bentuk hukuman dan pelakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dan (4) Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Diskusi dalam sesi terfokus mengelaborasi perbincangan dari diskusi panel, yang secara khusus memetakan perkembangan dan tantangan hak asasi serta agenda-agenda hak asasi ke depan. Hasil perbincangan dirangkum dalam paragraf-paragraf (1) Gambaran Umum Hak Asasi dan Demokrasi di Indonesia, (2) Keadaan dan Tantangan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia dan (3) Keadaan dan Tantangan Hak-hak Sipil dan Politik.

1. Hak Asasi dan Demokrasi di Indonesia

Dari sudut standard setting sepuluh tahun terakhir menunjukkan kemajuan berarti dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi. Perbaikan tekstual ini tampak dalam amandemen UUD hingga aturan dan ratifikasi 7 konvensi HAM. Telah pula tersedia mekanisme untuk me-review berbagai kebijakan dan perangkat peraturan perundangan. Berbagai persoalan perenial hak asasi seperti paham universalitas, justiciability, dan agenda mematahkan impunitas mulai menemukan jalan keluarnya. Meskipun demikian kapasitas dan kecepatan negara merespons penyelesaian hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi masih sangat rendah. Dalam hal menyangkut hak sosial ekonomi berbagai persoalan dasar hak asasi tersebut masih laten terjadi.

Perbaikan ini terutama terjadi pada ’kelompok’ hak asasi sipil politik, dan tidak pada hak ekonomi, sosial budaya. Misalnya, kebebasan berorganisasi mendirikan partai politik mengalami perubahan sangat besar dari 3 korporatisme partai politik menjadi 33 partai politik yang independen dari kekuasaan negara. Pemilu/pilkada pun menjadi diskursus publik sehari-hari.

Perumusan standar juga tidak diimbangi dengan penegakannya, terutama dalam pengungkapan kebenaran maupun pemberian keadilan bagi korban. Alih-alih memberi keadilan – hak asasi seperti kehilangan daya yang mempunyai kekuatan untuk menentukan kemendasarannya. Makna hak asasi telah dikikis sehingga kehilangan nilai dan tujuannya. Dalam praktek hak asasi menjadi komoditi politik elit kekuasaan di semua tingkatan.

Gagasan bahwa hak asasi akan terjamin dalam sistem politik demokratis dan sebaliknya demokrasi harus dilandaskan pada hak asasi mengalami pelecehan. Demokrasi pertama-tama dan bahkan melulu dipraktekkan sebagai cara daripada tujuan dan nilai. Aktor-aktor dominan memakai demokrasi bukan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran, melainkan lebih sebagai prosedur.

Pemisahan kekuasaan tergantung pada kompromi. Kebijakan desentralisasi lebih mefasilitasi elit lokal, dan mengasingkan satu daerah dengan daerah lain dari nilai-nilai solidaritas daripada mendistribusi kekuasaan ke daerah-daerah. Partai-partai politik tidak menjalankan fungsi utama mereka terutama dalam merepresentasikan berbagai kepentingan vital rakyat. Dalam tataran perilaku nilai-nilai demokrasi seperti pluralisme dihalangi.

Keadaan hak asasi tidak lepas dari arus globalisasi. Globalisasi saat ini menjadikan pasar bebas sebgai menjadi satu-satunya ’ideologi’. Pada saat yang sama terjadi peningkatan jumlah MNC/TNC yang memanfaatkan dibukanya batas-batas kekuasaan negara dan berperilaku sebagai roving bandist; para bandit yang bergerak secara anarkis dan memeras kekayaan sumber daya ekonomi sampai habis. Di tingkat nasional terjadi persengkongkolan antara pelaku-pelaku bisnis dan politik, yang dipermudah oleh demokrasi prosedural. Hal ini membawa akibat jatuhnya korban-korban kelaparan, pengangguran, bunuh diri, penyakit, meningginya kematian ibu dan balita dan anak-anak putus sekolah. Bersamaan dengan itu hak-hak berekspresi dan berorganisasi dihambat dalam praktik.

Dievaluasi bahwa stagnasi demokrasi dan pemajuan hak asasi terjadi karena penyingkiran negara dari ekonomi tidak dipersoalkan. Demokrasi dan hak asasi tidak masuk dalam ’wilayah’ pasar. Akibatnya negara tidak berdaya di hadapan pasar. Dalam menghadapai porak-porandanya hak asasi dan demokrasi di Indonesia apa yang dapat diusulkan? Sehubungan dengan hal ini digagas empat agenda penting:

  1. Mengundang kembali negara untuk menjalankan fungsi-fungsinya.
  2. Kembalikan demokrasi sosial yang berbasiskan pada kekuatan rakyat sebagai pemangku kekuasaan.
  3. Perkuat aktor strategis.
  4. Prioritaskan pemajuan hak sosial ekonomi

2. Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Landasan Keadilan Sosial

Indonesia telah berada dalam sistem demokrasi, namun demokrasi substansial belum tercapai. Hal ini karena masih bercokolnya kepentingan-kepentingan kekuatan patronase orde baru. Agen-agen reformis kehilangan kendali atas institusi demokrasi dan tak mampu bertarung dengan kekuatan predatoris dalam negara. Kepentingan-kepentingan ini secara langsung atau tidak langsung meniadakan hak-hak atas pendidikan, kesehatan, maupun tempat tinggal yang layak.

Meski secara normatif hak asasi melekat pada manusia, dalam praktek hak asasi harus direbut! Meskipun telah banyak tumbuh serikat-serikat rakyat, tidak ada kelompok pengimbang yang terorganisasi secara koheren. Akibatnya hak itu tak dapat dipenuhi untuk para korban yang terus menerus berjatuhan. Kondisi itu terjadi sejak 1965 ketika orde baru secara sistematis dan masal melakukan pelemahan organisasi rakyat. Gerakan hak asasi tampak hanya berkecimpung dalam diskursus dan belum cukup membangun kekuatan pengimbang yang signifikan.

Dalam kekosongan kekuatan pengimbang, kelompok kekuatan predatoris di kalangan elit politik dan pengusaha dengan cepat mengisi kekuasaan pemerintahan dan beradaptasi dengan sistem demokrasi yang ada. Mereka membawa kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar yang pada gilirannya meniadakan hak asasi terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini dibangun sejak zaman orde baru sebagaimana diindikasikan dengan lahirnya UU Penanaman Modal Asing No.1/1967.

Disamping itu masih ada mind-set yang melihat hak ekonomi-sosial-budaya bukan sebagai hak asasi, baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat sipil dan terutama sektor bisnis. Pemajuan dan perlindungannya masih masih sangat lemah dibanding hak sipil politik. Oleh karena itu perlu memprioritaskan pemajuan hak ekonomi sosial budaya.

Dengan globalisasi yang berlaku saat ini, korporasi memiliki kekuasaan besar bahkan lebih besar dari negara. Fenomena baru mengharuskan kita menggunakan paradigma tri-kotomi ”warga, negara dan bisnis” dibanding sekedar paradigma dikotomi ”warga dan negara” dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Oleh karena itu dirasa perlu adanya berbagai agenda untuk mengendalikan dominasi kekuatan-kekuatan modal besar, melalui dua strategi. Pertama, dengan membebaskan kekuasaan politik dari intervensi kekuatan modal. Kedua, memperluas kerangka pertanggung-jawaban hak asasi manusia tidak melulu pada negara, akan tetapi juga meletakkan bisnis dalam pertanggung jawaban hak asasi. Hal ini tidak berarti menghilangkan peran negara sebagai pemangku tanggung jawab utama hak asasi, melainkan meningkatkan tanggung jawabnya dalam melindungi individu dari ancaman kekuatan modal. Misalnya dengan memastikan bahwa bisnis bertanggung jawab pada publik.

Untuk itu sejumlah agenda berikut dicanangkan:

  1. Usut berbagai pelanggaran hak ekosob yang selama ini telah terjadi secara sistematis di wilayah keruk alam, diawali dari Freeport, Lapindo, Newmont, RAPP, APP dan beberapa korporasi skala besar lainya [jangka pendek]
  2. Perlu peninjauan kembali seluruh perizinan konsesi hutan dan tambang termasuk renegoisasi dan atau nasionalisasi kontrak-kontrak yang selama ini potensial melanggar hak ekosob [jangka pendek]
  3. Menggunakan pendekatan hak asasi manusia dalam pembuatan kebijakan (Right-Based-Approach to Develop Policies)
  4. Mengkaji berbagai peraturan perundangan yang selama ini memperbesar kuasa dan dominasi korporasi di Indonesia dan memperlemah masyarakat
  5. Mendorong adanya kebijakan program pemulihan hak-hak ekosob yang selama ini dilanggar, serta pemulihan ekosistem secara menyeluruh yang mengikat semua pihak sebagai bagian dari upaya untuk tidak mengulang kembali pelanggaran HAM di kemudian hari. [jangka panjang]
  6. Mengembangkan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan korporasi yang melanggar hak asasi manusia.
  7. Mengembangkan indikator hak ekosob dengan melibatkan korban dan partisipasi masyarakat dan pemerintah lokal.
  8. Kampanye atas justiciability hak ekosob.
  9. Meningkatkan perlindungan dan penguatan ‘korban’.
  10. Memperkuat kewenangan dan institusi Komnas HAM antara lain dengan mereformai UU HAM dan Pengadilan HAM

3. Tantangan dan Agenda Hak Sipil Politik

Sejak reformasi, jaminan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti dalam tataran normatif dan institusional. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Norma-norma umum hak asasi manusia dapat ditemukan disamping pada Amandemen UUD 1945, Tap MPR tentang hak asasi manusia adalah UU HAM dan Pengadilan HAM dan ratifikasi enam instrumen pokok hak asasi internasional. Menyangkut kebebasan berekspresi cukup terjamin pada UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, UU Pers, dan terakhir UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang memperkuat hak untuk mengawasi proses pengambilan keputusan publik. Hak-hak sipil warga diperkuat dengan UU kewarganegaraan dan UU Perlindungan saksi dan korban. Hak-hak warga untuk ikut menentukan pemerintahan diupayakan dalam UU Partai Politik, Pemilihan Umum, dan Susunan dan Kedudukan DPR. Lahir pula berbagai kebijakan politik menyangkut desentralisasi pemerintahan.

Secara khusus terdapat upaya pemisahan kepolisian dari TNI (UU tentang Kepolisian). Di kedua institusi TNI dan Polri meski masih sangat minimal terdapat upaya untuk menjadi lebih profesional, serta upaya-upaya melakukan demiliterisasi kepolisian. Reformasi institusional juga terjadi pada lembaga-lembaga yudisial berupa pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan ad hoc, yang dapat menjadi mekanisme penegakan hak asasi. Perbaikan-perbaikan institusional ini dikawal oleh berbagai lembaga auxiliare seperti KPK, Komisi Nasional Perlindungan Perempuan dari Tindakan Kekerasan, Komisi Perlindungan Hak Anak, dan Komisi Ombudsman Nasional.

Berbagai kemajuan ini tampak membawa implikasi positif pada kebebasan politik. Yang kasat mata terlihat berbagai organisasi rakyat maupun menjamurnya partai-partai politik. Pemilihan umum baik secara nasional maupun lokal berlangsung relatif aman dan pengungkapan kasus-kasus korupsi juga terus mengalir.

Yang tampak tidak selalu menggambarkan kenyataan sesungguhnya. Berbagai kemajuan itu dihadang oleh perilaku tirani mayoritas atas kelompok minoritas agama maupun politik. Para pemeluk agama minoritas seperti kaum Bahai maupun aliran kepercayaan diperlakukan secara diskriminasi. Demikian pula yang dialami oleh Ahmadiyah. Diskriminasi ini juga terjadi dalam bentuk peraturan-peraturan daerah syariat.

Secara politis diskriminasi terjadi pada simpatisan partai kiri, PKI maupun terhadap mereka yang memiliki gagasan-gagasan politik kiri maupun negara Islam. Dalam menghadapi masalah demikian negara cenderung melakukan pembiaran bahkan mengkriminalkan korban.

Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah. Terdapat jurang yang lebar antara yang normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain. Disamping itu, selama hampir sepuluh tahun terakhir sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya tidak mampu menjawab berbagai kasus pembunuhan dalam konflik-konflik horizontal dan vertikal serta kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi masa lalu. Budaya impunitas terus menjangkiti sistem hukum kita – yang dikhawatirkan akan terus memproduksi budaya kekerasan maupun menghancurkan sistem demokrasi yang sudah ada. Warisan pola militeristik dalam lembaga-lembaga keamanan terutama kepolisian masih kuat mengakar. Reformasi di tubuh Polri belum menyentuh reformasi kultural dan belum melembaga.

Diyakini bahwa berbagai kesenjangan ini terjadi antara lain karena, pertama, upaya penegakan hak asasi manusia lebih menekankan formalisme hukum daripada penataan ulang politik hak asasi manusia.

Kedua, karena monopoli akses atas sumber-sumber daya publik oleh modal dan birokrat, yang pada gilirannya menghambat proses politik dan penegakan hukum demi pemenuhan hak-hak asasi manusia.

Ketiga, karena tidak tersedianya otonomi asosiasional bagi hadirnya demokrasi substantif; yaitu peluang rakyat (terutama lapisan bawah) mengorganisasikan diri demi mempertahankan kepentingan dan identitas sendiri tanpa takut akan dicampuri atau diganggu oleh pemerintah.

Hal ini tampak dari praktek partai politik yang meletakkan rakyat sekedar sebagai ‘clients’, yang secara politik tersubordinasi. Rakyat menjadi objek kegiatan ‘politik prosedural.’ Sebagai akibatnya rakyat harus mengorbankan hak mengartikulasi kepentingan secara otonom sehingga tak dapat mengakses sumber-sumber daya publik. Lembaga-lembaga negara maupun masyarakat dalam ranah politik tak mampu menawarkan pelayanan publik dalam memoderatkan, moderasi/mediasi konflik-konflik politik, dan refining political demands, sehingga perlu ditetapkan strategi minimal untuk mencegah pembajakan demokrasi oleh kekuatan-kekuatan anti-pembaruan dalam beberapa rekomendasi umum berikut ini:

  1. Perluasan saluran bagi warga yang memungkinkan partisipasi efektif dalam politik
  2. Perluasan demokrasi ke tempat kerja, sehingga buruh/pegawai punya kemungkinan “memiliki” lahan kerjanya.
  3. Pengurangan pengaruh pemodal besar terhadap sistem politik.
  4. Penguatan kemampuan negara dalam mengendalikan elit ekonomi.
  5. Penciptaan bentuk-bentuk baru regulasi ekonomi pasar, nasional dan internasional.
  6. Pengembangan kebijakan sosial yang efektif
  7. Pemanfaatan teknologi informasi baru untuk mengembangkan bentuk pengorganisasian politik berdasar jaringan.

Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu

  1. Penguatan kewenangan Komnas HAM dalam penyidikan pelanggaran hak asasi dan pemberian imunitas bagi penyidik Komnas HAM
  2. Civil society mengawal setiap upaya perlindungan korban

Agama

  1. Mengadakan dialog (antaragama) dan mencegah penghakiman pada pihak lain dalam konflik
  2. Melakukan pendidikan pluralisme sejak dini
  3. Melakukan perwujudan nilai-nilai agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
  4. Mendorong kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi
  5. Melakukan integrasi masyarakat tanpa tekanan negara.
  6. Meningkatkan partisipasi publik terhadap seluruh kebijakan pemerintah yang mengancam kebebasan beragama.

Penyiksaan

  1. Melakukan revisi atas KUHAP dan KUHP
  2. Mempercepat pengesahan protokol opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat.
  3. Membangun budaya anti kekerasan
  4. Melakukan revisi UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Pengadilan HAM.

Keamanan

  1. Mendorong implementasi Kurikulum TNI Polri yang lebih berwawasan HAM.
  2. Mendorong oversight pelaksanaan kegiatan dan budget oleh parlemen
  3. Mendorong pembentukan lembaga-lembaga pemantau institusi keamanan yang bersifat independen.
  4. Perubahan paradigma menyangkut ide, konsep, dan perilaku dalam masalah keamanan nasional.
  5. Perubahan legislasi dan kebijakan keamanan yang lebih berorientasi Human Dignity Security sebagai Framework.
  6. Security Sector Reform harus meletakan Human dignity Security sebagai tatanan tertinggi.
  7. Mendorong reformasi Badan Intelejen.
Source : www.komnasham.go.id