RANGKUMAN
LOKAKARYA NASIONAL HAK ASASI MANUSIA VII
”QUO VADIS PEMAJUAN DAN PENEGAKAN HAM DI INDONESIA”
Lokakarya nasional hak asasi manusia secara tradisional merupakan kegiatan tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, untuk melihat kembali perkembangan hak asasi dan menentukan langkah lebih lanjut. Lokakarya yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 Juli 2008 ini dilakukan bekerjasama dengan Legal Development Facility Australia, dengan mengambil tempat di Jakarta dan diikuti oleh sekitar 150 peserta, mewakili organisasi pemerintah (nasional maupun lokal), akademisi, media, non-pemerintah dan perorangan. Lokakarya diawali oleh sambuta ketua Komnas HAM dan dibuka secara resmi oleh wakil presiden. Pembukaan ini dilanjutkan dengan keynote speech oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.
Lokakarya mengambil tema ”10 tahun reformasi: Quo Vadis pemajuan dan penegakan hak asasi di Indonesia”; yang secara khusus hendak merefleksikan perjalanan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia sejak jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto. Perbincangan dilakukan dalam pertemuan pleno dan dilanjutkan dengan pembahasan dalam dua sub-tema besar. Subtema pertama menyangkut refleksi atas ‘Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Sebagai Landasan Penegakan Keadilan Sosial: 10 tahun reformasi’ dan sub-tema kedua refleksi atas “Pelaksanaan Hak Sipil dan Politik: 10 tahun reformasi’. Masing-masing subtema ini dibicarakan lebih intensif dalam sidang pleno secara berseri yang menghadirkan panelis sesuai keahlian dan atau pengalamannya dan dilanjutkan dalam sesi-sesi terfokus. Sesi-sesi terfokus subtema pertama mencakup (1) “Problem dan tantangan terhadap akses atas hak ekonomi, sosial dan budaya”, (2) “Problem dan tantangan dalam pelaku pelaksanaan hak ekonomi, sosial dan budaya, (3) “Problem dan tantangan hak ekonomi, sosial budaya dari perspektif korban”. Subtema kedua juga dipanelkan dalam empat sesi yang masing-masing membicarakan (1) pelaksanaan kebebasan beragama, (2) hak asasi manusia dengan kebijakan pertahanan dan keamanan dan (3) praktek-praktek penyiksaan dan bentuk-bentuk hukuman dan pelakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dan (4) Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Diskusi dalam sesi terfokus mengelaborasi perbincangan dari diskusi panel, yang secara khusus memetakan perkembangan dan tantangan hak asasi serta agenda-agenda hak asasi ke depan. Hasil perbincangan dirangkum dalam paragraf-paragraf (1) Gambaran Umum Hak Asasi dan Demokrasi di Indonesia, (2) Keadaan dan Tantangan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia dan (3) Keadaan dan Tantangan Hak-hak Sipil dan Politik.
1. Hak Asasi dan Demokrasi di Indonesia
Dari sudut standard setting sepuluh tahun terakhir menunjukkan kemajuan berarti dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi. Perbaikan tekstual ini tampak dalam amandemen UUD hingga aturan dan ratifikasi 7 konvensi HAM. Telah pula tersedia mekanisme untuk me-review berbagai kebijakan dan perangkat peraturan perundangan. Berbagai persoalan perenial hak asasi seperti paham universalitas, justiciability, dan agenda mematahkan impunitas mulai menemukan jalan keluarnya. Meskipun demikian kapasitas dan kecepatan negara merespons penyelesaian hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi masih sangat rendah. Dalam hal menyangkut hak sosial ekonomi berbagai persoalan dasar hak asasi tersebut masih laten terjadi.
Perbaikan ini terutama terjadi pada ’kelompok’ hak asasi sipil politik, dan tidak pada hak ekonomi, sosial budaya. Misalnya, kebebasan berorganisasi mendirikan partai politik mengalami perubahan sangat besar dari 3 korporatisme partai politik menjadi 33 partai politik yang independen dari kekuasaan negara. Pemilu/pilkada pun menjadi diskursus publik sehari-hari.
Perumusan standar juga tidak diimbangi dengan penegakannya, terutama dalam pengungkapan kebenaran maupun pemberian keadilan bagi korban. Alih-alih memberi keadilan – hak asasi seperti kehilangan daya yang mempunyai kekuatan untuk menentukan kemendasarannya. Makna hak asasi telah dikikis sehingga kehilangan nilai dan tujuannya. Dalam praktek hak asasi menjadi komoditi politik elit kekuasaan di semua tingkatan.
Gagasan bahwa hak asasi akan terjamin dalam sistem politik demokratis dan sebaliknya demokrasi harus dilandaskan pada hak asasi mengalami pelecehan. Demokrasi pertama-tama dan bahkan melulu dipraktekkan sebagai cara daripada tujuan dan nilai. Aktor-aktor dominan memakai demokrasi bukan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran, melainkan lebih sebagai prosedur.
Pemisahan kekuasaan tergantung pada kompromi. Kebijakan desentralisasi lebih mefasilitasi elit lokal, dan mengasingkan satu daerah dengan daerah lain dari nilai-nilai solidaritas daripada mendistribusi kekuasaan ke daerah-daerah. Partai-partai politik tidak menjalankan fungsi utama mereka terutama dalam merepresentasikan berbagai kepentingan vital rakyat. Dalam tataran perilaku nilai-nilai demokrasi seperti pluralisme dihalangi.
Keadaan hak asasi tidak lepas dari arus globalisasi. Globalisasi saat ini menjadikan pasar bebas sebgai menjadi satu-satunya ’ideologi’. Pada saat yang sama terjadi peningkatan jumlah MNC/TNC yang memanfaatkan dibukanya batas-batas kekuasaan negara dan berperilaku sebagai roving bandist; para bandit yang bergerak secara anarkis dan memeras kekayaan sumber daya ekonomi sampai habis. Di tingkat nasional terjadi persengkongkolan antara pelaku-pelaku bisnis dan politik, yang dipermudah oleh demokrasi prosedural. Hal ini membawa akibat jatuhnya korban-korban kelaparan, pengangguran, bunuh diri, penyakit, meningginya kematian ibu dan balita dan anak-anak putus sekolah. Bersamaan dengan itu hak-hak berekspresi dan berorganisasi dihambat dalam praktik.
Dievaluasi bahwa stagnasi demokrasi dan pemajuan hak asasi terjadi karena penyingkiran negara dari ekonomi tidak dipersoalkan. Demokrasi dan hak asasi tidak masuk dalam ’wilayah’ pasar. Akibatnya negara tidak berdaya di hadapan pasar. Dalam menghadapai porak-porandanya hak asasi dan demokrasi di Indonesia apa yang dapat diusulkan? Sehubungan dengan hal ini digagas empat agenda penting:
- Mengundang kembali negara untuk menjalankan fungsi-fungsinya.
- Kembalikan demokrasi sosial yang berbasiskan pada kekuatan rakyat sebagai pemangku kekuasaan.
- Perkuat aktor strategis.
- Prioritaskan pemajuan hak sosial ekonomi
2. Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Landasan Keadilan Sosial
Indonesia telah berada dalam sistem demokrasi, namun demokrasi substansial belum tercapai. Hal ini karena masih bercokolnya kepentingan-kepentingan kekuatan patronase orde baru. Agen-agen reformis kehilangan kendali atas institusi demokrasi dan tak mampu bertarung dengan kekuatan predatoris dalam negara. Kepentingan-kepentingan ini secara langsung atau tidak langsung meniadakan hak-hak atas pendidikan, kesehatan, maupun tempat tinggal yang layak.
Meski secara normatif hak asasi melekat pada manusia, dalam praktek hak asasi harus direbut! Meskipun telah banyak tumbuh serikat-serikat rakyat, tidak ada kelompok pengimbang yang terorganisasi secara koheren. Akibatnya hak itu tak dapat dipenuhi untuk para korban yang terus menerus berjatuhan. Kondisi itu terjadi sejak 1965 ketika orde baru secara sistematis dan masal melakukan pelemahan organisasi rakyat. Gerakan hak asasi tampak hanya berkecimpung dalam diskursus dan belum cukup membangun kekuatan pengimbang yang signifikan.
Dalam kekosongan kekuatan pengimbang, kelompok kekuatan predatoris di kalangan elit politik dan pengusaha dengan cepat mengisi kekuasaan pemerintahan dan beradaptasi dengan sistem demokrasi yang ada. Mereka membawa kepentingan dan nilai-nilai fundamentalisme pasar yang pada gilirannya meniadakan hak asasi terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini dibangun sejak zaman orde baru sebagaimana diindikasikan dengan lahirnya UU Penanaman Modal Asing No.1/1967.
Disamping itu masih ada mind-set yang melihat hak ekonomi-sosial-budaya bukan sebagai hak asasi, baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat sipil dan terutama sektor bisnis. Pemajuan dan perlindungannya masih masih sangat lemah dibanding hak sipil politik. Oleh karena itu perlu memprioritaskan pemajuan hak ekonomi sosial budaya.
Dengan globalisasi yang berlaku saat ini, korporasi memiliki kekuasaan besar bahkan lebih besar dari negara. Fenomena baru mengharuskan kita menggunakan paradigma tri-kotomi ”warga, negara dan bisnis” dibanding sekedar paradigma dikotomi ”warga dan negara” dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Oleh karena itu dirasa perlu adanya berbagai agenda untuk mengendalikan dominasi kekuatan-kekuatan modal besar, melalui dua strategi. Pertama, dengan membebaskan kekuasaan politik dari intervensi kekuatan modal. Kedua, memperluas kerangka pertanggung-jawaban hak asasi manusia tidak melulu pada negara, akan tetapi juga meletakkan bisnis dalam pertanggung jawaban hak asasi. Hal ini tidak berarti menghilangkan peran negara sebagai pemangku tanggung jawab utama hak asasi, melainkan meningkatkan tanggung jawabnya dalam melindungi individu dari ancaman kekuatan modal. Misalnya dengan memastikan bahwa bisnis bertanggung jawab pada publik.
Untuk itu sejumlah agenda berikut dicanangkan:
- Usut berbagai pelanggaran hak ekosob yang selama ini telah terjadi secara sistematis di wilayah keruk alam, diawali dari Freeport, Lapindo, Newmont, RAPP, APP dan beberapa korporasi skala besar lainya [jangka pendek]
- Perlu peninjauan kembali seluruh perizinan konsesi hutan dan tambang termasuk renegoisasi dan atau nasionalisasi kontrak-kontrak yang selama ini potensial melanggar hak ekosob [jangka pendek]
- Menggunakan pendekatan hak asasi manusia dalam pembuatan kebijakan (Right-Based-Approach to Develop Policies)
- Mengkaji berbagai peraturan perundangan yang selama ini memperbesar kuasa dan dominasi korporasi di Indonesia dan memperlemah masyarakat
- Mendorong adanya kebijakan program pemulihan hak-hak ekosob yang selama ini dilanggar, serta pemulihan ekosistem secara menyeluruh yang mengikat semua pihak sebagai bagian dari upaya untuk tidak mengulang kembali pelanggaran HAM di kemudian hari. [jangka panjang]
- Mengembangkan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan korporasi yang melanggar hak asasi manusia.
- Mengembangkan indikator hak ekosob dengan melibatkan korban dan partisipasi masyarakat dan pemerintah lokal.
- Kampanye atas justiciability hak ekosob.
- Meningkatkan perlindungan dan penguatan ‘korban’.
- Memperkuat kewenangan dan institusi Komnas HAM antara lain dengan mereformai UU HAM dan Pengadilan HAM
3. Tantangan dan Agenda Hak Sipil Politik
Sejak reformasi, jaminan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia khususnya hak sipil dan politik mengalami kemajuan berarti dalam tataran normatif dan institusional. Terdapat berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memberikan penghormatan dan perlindungan hak ini. Norma-norma umum hak asasi manusia dapat ditemukan disamping pada Amandemen UUD 1945, Tap MPR tentang hak asasi manusia adalah UU HAM dan Pengadilan HAM dan ratifikasi enam instrumen pokok hak asasi internasional. Menyangkut kebebasan berekspresi cukup terjamin pada UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, UU Pers, dan terakhir UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang memperkuat hak untuk mengawasi proses pengambilan keputusan publik. Hak-hak sipil warga diperkuat dengan UU kewarganegaraan dan UU Perlindungan saksi dan korban. Hak-hak warga untuk ikut menentukan pemerintahan diupayakan dalam UU Partai Politik, Pemilihan Umum, dan Susunan dan Kedudukan DPR. Lahir pula berbagai kebijakan politik menyangkut desentralisasi pemerintahan.
Secara khusus terdapat upaya pemisahan kepolisian dari TNI (UU tentang Kepolisian). Di kedua institusi TNI dan Polri meski masih sangat minimal terdapat upaya untuk menjadi lebih profesional, serta upaya-upaya melakukan demiliterisasi kepolisian. Reformasi institusional juga terjadi pada lembaga-lembaga yudisial berupa pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan ad hoc, yang dapat menjadi mekanisme penegakan hak asasi. Perbaikan-perbaikan institusional ini dikawal oleh berbagai lembaga auxiliare seperti KPK, Komisi Nasional Perlindungan Perempuan dari Tindakan Kekerasan, Komisi Perlindungan Hak Anak, dan Komisi Ombudsman Nasional.
Berbagai kemajuan ini tampak membawa implikasi positif pada kebebasan politik. Yang kasat mata terlihat berbagai organisasi rakyat maupun menjamurnya partai-partai politik. Pemilihan umum baik secara nasional maupun lokal berlangsung relatif aman dan pengungkapan kasus-kasus korupsi juga terus mengalir.
Yang tampak tidak selalu menggambarkan kenyataan sesungguhnya. Berbagai kemajuan itu dihadang oleh perilaku tirani mayoritas atas kelompok minoritas agama maupun politik. Para pemeluk agama minoritas seperti kaum Bahai maupun aliran kepercayaan diperlakukan secara diskriminasi. Demikian pula yang dialami oleh Ahmadiyah. Diskriminasi ini juga terjadi dalam bentuk peraturan-peraturan daerah syariat.
Secara politis diskriminasi terjadi pada simpatisan partai kiri, PKI maupun terhadap mereka yang memiliki gagasan-gagasan politik kiri maupun negara Islam. Dalam menghadapi masalah demikian negara cenderung melakukan pembiaran bahkan mengkriminalkan korban.
Supremasi hukum yang berkeadilan juga masih sangat lemah. Terdapat jurang yang lebar antara yang normatif dan penegakannya. Praktik penyiksaan masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat-tempat lain. Disamping itu, selama hampir sepuluh tahun terakhir sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya tidak mampu menjawab berbagai kasus pembunuhan dalam konflik-konflik horizontal dan vertikal serta kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi masa lalu. Budaya impunitas terus menjangkiti sistem hukum kita – yang dikhawatirkan akan terus memproduksi budaya kekerasan maupun menghancurkan sistem demokrasi yang sudah ada. Warisan pola militeristik dalam lembaga-lembaga keamanan terutama kepolisian masih kuat mengakar. Reformasi di tubuh Polri belum menyentuh reformasi kultural dan belum melembaga.
Diyakini bahwa berbagai kesenjangan ini terjadi antara lain karena, pertama, upaya penegakan hak asasi manusia lebih menekankan formalisme hukum daripada penataan ulang politik hak asasi manusia.
Kedua, karena monopoli akses atas sumber-sumber daya publik oleh modal dan birokrat, yang pada gilirannya menghambat proses politik dan penegakan hukum demi pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Ketiga, karena tidak tersedianya otonomi asosiasional bagi hadirnya demokrasi substantif; yaitu peluang rakyat (terutama lapisan bawah) mengorganisasikan diri demi mempertahankan kepentingan dan identitas sendiri tanpa takut akan dicampuri atau diganggu oleh pemerintah.
Hal ini tampak dari praktek partai politik yang meletakkan rakyat sekedar sebagai ‘clients’, yang secara politik tersubordinasi. Rakyat menjadi objek kegiatan ‘politik prosedural.’ Sebagai akibatnya rakyat harus mengorbankan hak mengartikulasi kepentingan secara otonom sehingga tak dapat mengakses sumber-sumber daya publik. Lembaga-lembaga negara maupun masyarakat dalam ranah politik tak mampu menawarkan pelayanan publik dalam memoderatkan, moderasi/mediasi konflik-konflik politik, dan refining political demands, sehingga perlu ditetapkan strategi minimal untuk mencegah pembajakan demokrasi oleh kekuatan-kekuatan anti-pembaruan dalam beberapa rekomendasi umum berikut ini:
- Perluasan saluran bagi warga yang memungkinkan partisipasi efektif dalam politik
- Perluasan demokrasi ke tempat kerja, sehingga buruh/pegawai punya kemungkinan “memiliki” lahan kerjanya.
- Pengurangan pengaruh pemodal besar terhadap sistem politik.
- Penguatan kemampuan negara dalam mengendalikan elit ekonomi.
- Penciptaan bentuk-bentuk baru regulasi ekonomi pasar, nasional dan internasional.
- Pengembangan kebijakan sosial yang efektif
- Pemanfaatan teknologi informasi baru untuk mengembangkan bentuk pengorganisasian politik berdasar jaringan.
Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu
- Penguatan kewenangan Komnas HAM dalam penyidikan pelanggaran hak asasi dan pemberian imunitas bagi penyidik Komnas HAM
- Civil society mengawal setiap upaya perlindungan korban
Agama
- Mengadakan dialog (antaragama) dan mencegah penghakiman pada pihak lain dalam konflik
- Melakukan pendidikan pluralisme sejak dini
- Melakukan perwujudan nilai-nilai agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
- Mendorong kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi
- Melakukan integrasi masyarakat tanpa tekanan negara.
- Meningkatkan partisipasi publik terhadap seluruh kebijakan pemerintah yang mengancam kebebasan beragama.
Penyiksaan
- Melakukan revisi atas KUHAP dan KUHP
- Mempercepat pengesahan protokol opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat.
- Membangun budaya anti kekerasan
- Melakukan revisi UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Pengadilan HAM.
Keamanan
- Mendorong implementasi Kurikulum TNI Polri yang lebih berwawasan HAM.
- Mendorong oversight pelaksanaan kegiatan dan budget oleh parlemen
- Mendorong pembentukan lembaga-lembaga pemantau institusi keamanan yang bersifat independen.
- Perubahan paradigma menyangkut ide, konsep, dan perilaku dalam masalah keamanan nasional.
- Perubahan legislasi dan kebijakan keamanan yang lebih berorientasi Human Dignity Security sebagai Framework.
- Security Sector Reform harus meletakan Human dignity Security sebagai tatanan tertinggi.
- Mendorong reformasi Badan Intelejen.
Source :
www.komnasham.go.id