Jumat, 23 Oktober 2009

Lampiran: Bahan Konferensi Pers

Akhiri Konflik dan Percayakan Masyarakat Kasepuhan dalam Mengelola Sumberdaya Alam

Komunitas Kasepuhan merupakan sebutan kepada kelompok masyarakat yang masih mempertahankan system nilai, norma, kepercayaan dan tata karma dalam kehidupan social budaya, social ekonomi dan sebagainya, masih berdasarkan pengetahuan yang diwarisi para leluhur (sepuh atau kolot), seperti: tatali paranti karuhun dan berpedoman pada hukum agama (Islam). Upacara adat “Seren Taun” merupakan salah satu acara adat dan kekhasan komunitas Kasepuhan yang dirayakan setahun sekali untuk syukuran petani kepada pemilik kehidupan yang telah memberikan perlindungan kepada manusia dan hasil pertaniannya.

Dikisahkan asal usul leluhur komunitas Kasepuhan berhubungan dengan para penguasa Kerajaan Sunda Hindu yang berpusat di Pakuan Pajajaran – Bogor. Selain itu, dihubungkan pula dengan keturunan Pancer Pangawinan. Saat ini, pusat kebudayaan Komunitas Kasepuhan di Sukabumi, berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yakni: Kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Sinaresmi. Diperkirakan jumlah keseluruhan Komunitas Kasepuhan sekitar 25.000 jiwa. Mereka tinggal menyebar di wilayah pemerintahan Sukabumi dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Keberadaan komunitas Kasepuhan yang berdiam di wilayah pemerintahan Desa Sirnaresmi dan desa-desa sekitarnya, sangat memprihatinkan dan taraf kesejahteraan hidupnya semakin menurun. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dan aturan pemerintah yang diskrimintatif, yang mana tanah dan kekayaan alam di wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi dan diberikan hak kepada perusahaan kayu Perum Perhutani, hutan lindung dan taman nasional, sehingga masyarakat kehilangan hak dan akses atas sumber-sumber kehidupannya. Menteri Kehutanan pada tahun 2003 mengeluarkan Surat Keputusan No. 174/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 ha, yang mencaplok lahan garapan dan wilayah kelola masyarakat.

Kelembagaan adat dan pemerintah desa kehilangan otoritas dan kontrol dalam pengurusan sumberdaya alam. Masyarakat semakin banyak kehilangan hak dan akses atas lahan garapan, sehingga menurunkan pendapatan ekonomi. Berulang-ulang kali masyarakat ditangkap dan berurusan dengan petugas kepolisian dan Jagawana, karena dianggap “pencuri” tanaman kayu yang ditanam petani. Pemerintah mengabaikan peran dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Ancamannya, masyarakat akan semakin miskin, hidup tidak tenteram dan kehilangan kemandirian dalam memajukan kehidupannya.

Pengamanan dan pengawetan kawasan hutan yang selalu jadi dalih untuk menggusur paksa masyarakat, kenyataannya tidak membuat hutan semakin baik, sebaliknya hasil hutan dan isi perut bumi terus dikuras. Petugas tidak mampu mencegah “pencurian kayu” dan “penambangan ilegal” yang dibekingi pemodal dan dilindungi aparat keamanan. Pemerintah secara tidak adil melarang rakyat setempat mengelola sumberdaya alam dan disisi lainnya, membiarkan beroperasinya perusahaan pemegang ijin tambang (seperti: PT. Chevron Salak dan PT. Antam) dan puluhan ijin perusahaan perkebunan (seperti: perusahaan teh PT. Nirmala Agung dan PTPN VIII), pabrik industri dan sebagainya, yang berlokasi di kawasan hutan sekitar.

Situasi ini bertentangan dengan konstitusi dan peraturan lainnya, serta rasa keadilan. Seharusnya, pemerintah wajib melakukan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat Kasepuhan. Lihat, Pasal 18 B UUD 1945, bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat ….”; “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. (Pasal 28 A UUD 1945). “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini…”(UU tentang HAM No. 39 tahun 1999, Pasal 71).

Berdasarkan situasi social dan keharusan penegakan hukum, maka sudah sepatutnya Menteri Kehutanan dan Pemerintah Daerah Sukabumi, serta pihak pengambil kebijakan lainnya, segera bertindak mengeluarkan kebijakan untuk mengakhiri konflik hingga tidak berlarut-larut dan menimbulkan keresahan di masyarakat maupun ketidakpercayaan kepada pemerintah. Ada tiga hal yang perlu dilakukan, sebagai berikut:
  1. Melakukan musyawarah penataan kembali batas kawasan hutan negara dan hutan yang diklaim sebagai kawasan hutan adat, seperti: leuweng awisan (kawasan hutan keramat dan bekas kampung tua), leuweng titipan (hutan penyangga dan dilindungi), leuweng garapan (hutan yang dapat digarap), serta perencanaan pengelolaannya. Musyawarah dan mufakat dilakukan tanpa tekanan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat Kasepuhan untuk seluas-luasnya menentukan keputusan dan haknya dalam setiap musyawarah.
  2. Menghentikan tindakan intimidasi, penangkapan, tekanan dan pelarangan terhadap masyarakat Kasepuhan untuk memanfaatkan hasil kayu dan bukan kayu dari lahan garapan kebun tanaman (talunt). Selanjutnya, pemerintah dan petugas kehutanan harus percaya kepada kemampuan dan pengetahuan masyarakat Kasepuhan dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan.
  3. Mengeluarkan kebijakan politik dan hukum untuk perlindungan hak-hak masyarakat Kasepuhan di Sukabumi.

Terima Kasih.


Penanggung Jawab



Y.L. FRANKY
Yayasan PUSAKA,
Kompleks TNI AL, Jl. Teluk Parigi Blok A. 95
Pasar Minggu, Jakarta Selatan (12520)
Telp/Fax. 021 – 7892313. Email: yay.pusaka@gmail.com
Kontak HP. 0813 1728 6019 dan 0878 8223 6991 (sementara)

UGIS SUGANDA
Perwakilan (SABAKI)
Kesatuan Adat Banten Kidul
Alamat: Desa Sirnaresmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi
Kontak HP. 0859 2187 3839



SURAT PUSAKA KEPADA BUPATI SUKABUMI TENTANG AKSI KARTU POS


Kepada Yth:


Bapak Bupati Kabupaten Sukabumi


Di Tempat.-


Dengan hormat,

Pertama-tama, kami menyampaikan rasa duka yang mendalam dan simpatik terhadap warga korban meninggal dan menderita sakit, serta kerugian harta benda, oleh karena peristiwa gempa bumi yang terjadi di wilayah Kabupaten Sukabumi. Kami berharap pemulihan atas situasi menyedihkan ini dapat secepatnya tertangani. Kiranya, bencana ini dapat memberikan pelajaran bagi kita semua untuk dapat menangani dan mengurangi dampak bencana dengan lebih tanggap dan peduli.


Kedua, dalam suasana Idul Fitri, kami ucapkan Minal Aidin wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.


Ketiga, kami sampaikan bahwa sepanjang tanggal 9 Agustus 2009 hingga surat ini dikirimkan, Yayasan PUSAKA telah mengirimkan dan menggalang ‘Kartu Pos’ dari publik luas, guna mendapatkan dukungan public dalam kerangka aksi advokasi meminta perhatian dan komitmen pengambil kebijakan, utamanya kepada Pemerintah Daerah Sukabumi untuk memberikan kebijakan perlindungan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak komunitas Kasepuhan di Sukabumi.


Dari ratusan Kartu Pos yang terkumpul dan kami kirimkan kepada Bupati Sukabumi ini, sebagian besar penulis mengharapkan bapak Bupati memberikan komitmen yang mendalam terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Kasepuhan di Sukabumi. Keinginan dan dukungan ini, terkait erat dengan keprihatinan atas permasalahan dan realitas social yang dihadapi oleh komunitas tersebut, menyusul ditetapkannya sebagian besar kawasan kelola masyarakat Kasepuhan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, adanya peristiwa kekerasan yang berulang kali terjadi, kriminalisasi, ancaman, pelarangan dan pembatasan dalam akses pemanfaatan sumberdaya alam, diskriminasi atas pengetahuan dan corak produksi masyarakat. Selain itu, lingkungan alam setempat mengalami kerusakan berarti oleh ulah warga yang tidak bertanggung jawab dan dibiarkan oleh aparat negara.


Situasi ini berdampak menurunnya produktifitas masyarakat, kemiskinan dan mengancam keselamatan rakyat di masa depan. Hal ini jelas bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundangan-undangan di negeri ini. Kami mengkhawatirkan jika hal ini dibiarkan dan pemerintah lalai menjalankan tugasnya maka akan menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan menimbulkan aksi protes yang keras hingga pembangkangan social, yang ongkos sosialnya sangat mahal, sebagaimana yang sudah terjadi dibeberapa daerah sekitar.


Keempat, kami berharap pemerintah daerah dalam hal ini bapak Bupati yang memiliki kewenangan dan mempunyai kewajiban untuk melindungi warganya kiranya dapat mendorong, memprakarsai, memfasilitasi dan mengeluarkan keputusan kebijakan untuk perlindungan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat Kasepuhan di Sukabumi, masyarakat dapat diberikan kepercayaan atas pengetahuan mereka dalam mengelola sumberdaya alam yang sudah berlangsung turun temurun, serta dapat mengakui hak-hak mereka atas tanah-tanah garapan, tanah dan kawasan hutan adat, serta kekayaan alam lainnya.


Akhirnya, atas tanggapan, kesungguhan dan komitmen bapak Bupati dan jajarannya dilingkup Pemerintah Daerah Sukabumi untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera, kami haturkan terima kasih.



Jakarta, 5 Oktober 2009



Hormat Kami,



Y.L. Franky

Direktur Yayasan PUSAKA

SOLIDARITAS UNTUK PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT KASEPUHAN

Komunitas Kasepuhan merupakan sebutan kepada kelompok masyarakat yang masih mempertahankan system nilai, norma dan perilaku sehari-harinya dalam kehidupan social budaya, kepercayaan dan social ekonomi, berdasarkan pengetahuan yang diwarisi para leluhur (sepuh atau kolot). Upacara adat “Seren Taun” merupakan salah satu acara adat dan kekhasan komunitas Kasepuhan yang dirayakan setahun sekali untuk syukuran petani kepada pemilik kehidupan yang telah memberikan perlindungan kepada manusia dan hasil pertaniannya.

Norma, tata krama dan kebiasaan tata cara adat warisan dari nenek moyang disebut tatali paranti karuhun dan hukum agama Islam merupakan pedoman masyarakat dalam beraktivitas untuk hidup lebih tertib, aman dan harmonis, serta terdapat pantangan yang jika dilanggar akan menimbulkan bencana yang dalam bahasa Sunda disebut kabendon.

Dikisahkan asal usul leluhur komunitas Kasepuhan berhubungan dengan para penguasa Kerajaan Sunda Hindu yang berpusat di Pakuan Pajajaran – Bogor. Selain itu, dihubungkan pula dengan keturunan Pancer Pangawinan. Saat ini, pusat kebudayaan Komunitas Kasepuhan di Sukabumi, berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yakni: Kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Sinaresmi. Diperkirakan jumlah keseluruhan Komunitas Kasepuhan sekitar 25.000 jiwa. Mereka tinggal menyebar di wilayah pemerintahan Sukabumi dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Keberadaan komunitas Kasepuhan yang berdiam di wilayah pemerintahan Desa Sirnaresmi dan desa-desa sekitarnya, sangat memprihatinkan dan taraf kesejahteraan hidupnya semakin menurun. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dan aturan pemerintah yang diskrimintatif, yang mana tanah dan kekayaan alam di wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi dan diberikan hak kepada perusahaan kayu Perum Perhutani, hutan lindung dan taman nasional, sehingga masyarakat kehilangan hak dan akses atas sumber-sumber kehidupannya. Menteri Kehutanan pada tahun 2003 mengeluarkan Surat Keputusan No. 174/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 ha, yang mencaplok lahan garapan dan wilayah kelola masyarakat.

Kelembagaan adat dan pemerintah desa kehilangan otoritas dan kontrol dalam pengurusan sumberdaya alam. Masyarakat semakin banyak kehilangan hak dan akses atas lahan garapan, kalaupun terpaksa menggarap dan memanfaatkan hasil hutan akan ditangkap dan mendapat diintimidasi. Pemerintah mengabaikan peran dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Ancamannya, masyarakat akan semakin miskin, hidup tidak tenteram dan kehilangan kemandirian dalam memajukan kehidupannya.


Situasi ini bertentangan dengan konstitusi dan peraturan lainnya, serta rasa keadilan. Seharusnya, pemerintah wajib melakukan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat Kasepuhan. Lihat, Pasal 18 B UUD 1945, bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat ….”; “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. (Pasal 28 A UUD 1945). “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini…”(UU tentang HAM No. 39 tahun 1999, Pasal 71).


Pemerintah Daerah yang mempunyai kewenangan mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan diharapkan dapat menegakkan, memajukan dan mewujudkan keinginan masyarakat Kasepuhan untuk mendapatkan perlindungan politik dan hukum terhadap keberadaan dan hak-hak social ekonomi dan budaya. Pada gilirannya komunitas Kasepuhan dapat mempunyai otoritas dan hak-hak dalam mengelola sumberdaya alam, mengembangkan dan memanfaatkannya secara adil dan berkelanjutan, serta tidak mengabaikan hak-hak masyarakat berkepentingan lainnya. Sebaliknya, kepercayaan dan kebijakan pemerintah kepada masyarakat dapat berarti keadilan dan demokrasi sudah dijalankan.


Dukungan masyarakat luas sangat diperlukan guna mendesak pemerintah untuk mau dan mewujudkan aspirasi komunitas Kasepuhan. Karena itulah kami mengundang dan menganjurkan Anda bersolidaritas untuk mengambil bagian mengirim pesan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi melalui Kartu Pos ini. Silahkan Anda nyatakan pendapat dan mendukung aspirasi masyarakat, serta meminta agar pemerintah segera mengeluarkan kebijakan politik dan hukum yang memberikan perlindungan terhadap keberadaan dan hak-hak komunitas Kasepuhan, guna mewujudkan keadilan dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.

Kartu Pos ini akan digabungkan dengan kartu pos lainnya untuk dikirimkan kepada Pemda Sukabumi. Hal-hal yang kurang jelas, silahkan ditanyakan kepada pengorganisasian kegiatan penggalangan dukungan ini.

Terima Kasih



Y.L. FRANKY

Penanggung Jawab

Yayasan PUSAKA,

Kompleks TNI AL, Jl. Teluk Parigi Blok A. 95

Pasar Minggu, Jakarta Selatan (12520)

Telp/Fax. 021 – 7892313. Email: yay.pusaka@gmail.com


Mendesak 11 Langkah Darurat Untuk Reduksi Emisi Dalam Program Kerja 100 Hari SBY-Boediono

......komitmen menurunkan emisi di dalam negeri menjadi sangat penting. Tak kalah penting dari upaya terus menuntut negara-negara Annex 1 dalam Protokol Kyoto menurunkan emisi mereka secara signifikan. Indonesia perlu menyerukan upaya reformasi struktur perekonomian dunia yang sejak lama menempatkan negara-negara Selatan sebagai penyedia bahan mentah belaka dan bahkan pada perkembangan selanjutnya menjadi penyedia jasa pembersihan residu kemajuan negara-negara Annex 1…….

  1. Memerintahkan Menteri Pertanian untuk mencabut Peraturan Menteri Pertanian No 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, karena konversi lahan gambut merupakan sumber emisi karbon terbesar di Indonesia.
  2. Memerintahkan Menteri Kehutanan untuk mencabut sejumlah Kebijakan yang berkaitan dengan konversi hutan alam dan lahan gambut untuk keperluan industri skala besar. Hal ini karena konversi hutan alam dan lahan gambut merupakan sumber emisi karbon kedua terbesar di Indonesia. Pencabutan kebijakan konversi hutan alam dan lahan gambut ini akan menjaga cadangan karbon dan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia.
  3. Memerintahkan Menteri Kehutanan untuk mengkaji kembali kebijakan yang memberi peluang besar bagi offset negara industri melalui skema pasar di kawasan hutan Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain: (1) P. 68/Menhut-II/2008 Penyelenggaran Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, (2) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, (3) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung, karena memberi peluang besar bagi offset negara industri.
  4. Memastikan bahwa Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang dapat menghasilkan Rencana Tata Ruang Pulau-pulau Besar pada tahun 2009 yang mampu memastikan pengurangan kerentanan lingkungan terhadap dampak perubahan iklim, perlindungan hak terhadap warga negara kebanyakan, dan pemulihan lingkungan yang telah rusak. RTRWN ini harus menjadi acuan bagi semua rencana pembangunan, program hingga penerbitan ijin sektoral.
  5. Memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM serta Menteri Kehutanan untuk melakukan optimalisasi penegakan hukum atas segala jenis kejahatan kehutanan dan kejahatan lingkungan lain yang terkait.
  6. Mengeluarkan Keputusan Presiden untuk perlindungan dan rehabilitasi ekosistem gambut.
  7. Melaksanakan rekomendasi Komite PBB Penghapusan Diskriminasi Rasial - CERD (CERD/C/IDN/CO/3, 15 Agustus 2007) 3
  8. Memulai suatu proses penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang hak-hak Masyarakat Adat.
  9. Memulai suatu proses kaji ulang kebijakan sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian skala besar, pertambangan dan energi yang memiliki dampak terhadap emisi Gas Rumah Kaca, yang mempertinggi kerentanan lingkungan dan manusia terhadap dampak perubahan iklim secara transparan dan partisipatif
  10. Memastikan dilindunginya hak-hak perempuan seperti yang tertera dalam Konvensi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), bukan hanya karena perempuan dianggap sebagai kelompok rentan namun karena perempuan juga mempunyai peran penting dalam proses mitigasi maupun adaptasi.
  11. Meninjau ulang kebijakan pembangunan PLTU Batubara. Indonesia harus mengurangi perannya sebagai penyedia bahan mentah industri dan kebutuhan bahan bakar fosil dunia, dengan mereformasi pola produksi dan konsumsi energinya. Dan segera mempertimbangkan pengembangan energi terbarukan yang terdesentralisasi.

baca selengkapnya:
Surat Terbuka Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia Kepada Presiden Menyikapi Komitmen Indonesia Dalam Mereduksi Emisi Nasional

Walhi - Greenpeace - Sawit Watch - Down to Earth - IYFFCC (Indonesian Youth Forum for Climate Change) - Rainforest Action Network - People Forest Program - ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) - AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) - FWI (Forest Watch Indonesia) - Solidaritas Perempuan - HuMa - Telapak - KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan) - BIC (Bank Information Center) - Sarekat Hijau Indonsia (SHI) - Jikalahari - Jatam, Kiara - JKPP - Save Our Borneo (SOB) - Scale Up – Pusaka