Akhiri Konflik dan Percayakan Masyarakat Kasepuhan dalam Mengelola Sumberdaya Alam
Komunitas Kasepuhan merupakan sebutan kepada kelompok masyarakat yang masih mempertahankan system nilai, norma, kepercayaan dan tata karma dalam kehidupan social budaya, social ekonomi dan sebagainya, masih berdasarkan pengetahuan yang diwarisi para leluhur (sepuh atau kolot), seperti: tatali paranti karuhun dan berpedoman pada hukum agama (Islam). Upacara adat “Seren Taun” merupakan salah satu acara adat dan kekhasan komunitas Kasepuhan yang dirayakan setahun sekali untuk syukuran petani kepada pemilik kehidupan yang telah memberikan perlindungan kepada manusia dan hasil pertaniannya.
Dikisahkan asal usul leluhur komunitas Kasepuhan berhubungan dengan para penguasa Kerajaan Sunda Hindu yang berpusat di Pakuan Pajajaran – Bogor. Selain itu, dihubungkan pula dengan keturunan Pancer Pangawinan. Saat ini, pusat kebudayaan Komunitas Kasepuhan di Sukabumi, berada di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, yakni: Kasepuhan Cipta Gelar, Kasepuhan Cipta Mulya dan Kasepuhan Sinaresmi. Diperkirakan jumlah keseluruhan Komunitas Kasepuhan sekitar 25.000 jiwa. Mereka tinggal menyebar di wilayah pemerintahan Sukabumi dan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Keberadaan komunitas Kasepuhan yang berdiam di wilayah pemerintahan Desa Sirnaresmi dan desa-desa sekitarnya, sangat memprihatinkan dan taraf kesejahteraan hidupnya semakin menurun. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dan aturan pemerintah yang diskrimintatif, yang mana tanah dan kekayaan alam di wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi dan diberikan hak kepada perusahaan kayu Perum Perhutani, hutan lindung dan taman nasional, sehingga masyarakat kehilangan hak dan akses atas sumber-sumber kehidupannya. Menteri Kehutanan pada tahun 2003 mengeluarkan Surat Keputusan No. 174/Kpts-II/2003 yang menetapkan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas 113.357 ha, yang mencaplok lahan garapan dan wilayah kelola masyarakat.
Kelembagaan adat dan pemerintah desa kehilangan otoritas dan kontrol dalam pengurusan sumberdaya alam. Masyarakat semakin banyak kehilangan hak dan akses atas lahan garapan, sehingga menurunkan pendapatan ekonomi. Berulang-ulang kali masyarakat ditangkap dan berurusan dengan petugas kepolisian dan Jagawana, karena dianggap “pencuri” tanaman kayu yang ditanam petani. Pemerintah mengabaikan peran dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Ancamannya, masyarakat akan semakin miskin, hidup tidak tenteram dan kehilangan kemandirian dalam memajukan kehidupannya.
Pengamanan dan pengawetan kawasan hutan yang selalu jadi dalih untuk menggusur paksa masyarakat, kenyataannya tidak membuat hutan semakin baik, sebaliknya hasil hutan dan isi perut bumi terus dikuras. Petugas tidak mampu mencegah “pencurian kayu” dan “penambangan ilegal” yang dibekingi pemodal dan dilindungi aparat keamanan. Pemerintah secara tidak adil melarang rakyat setempat mengelola sumberdaya alam dan disisi lainnya, membiarkan beroperasinya perusahaan pemegang ijin tambang (seperti: PT. Chevron Salak dan PT. Antam) dan puluhan ijin perusahaan perkebunan (seperti: perusahaan teh PT. Nirmala Agung dan PTPN VIII), pabrik industri dan sebagainya, yang berlokasi di kawasan hutan sekitar.
Situasi ini bertentangan dengan konstitusi dan peraturan lainnya, serta rasa keadilan. Seharusnya, pemerintah wajib melakukan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat Kasepuhan. Lihat, Pasal 18 B UUD 1945, bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat ….”; “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. (Pasal 28 A UUD 1945). “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini…”(UU tentang HAM No. 39 tahun 1999, Pasal 71).
Berdasarkan situasi social dan keharusan penegakan hukum, maka sudah sepatutnya Menteri Kehutanan dan Pemerintah Daerah Sukabumi, serta pihak pengambil kebijakan lainnya, segera bertindak mengeluarkan kebijakan untuk mengakhiri konflik hingga tidak berlarut-larut dan menimbulkan keresahan di masyarakat maupun ketidakpercayaan kepada pemerintah. Ada tiga hal yang perlu dilakukan, sebagai berikut:
- Melakukan musyawarah penataan kembali batas kawasan hutan negara dan hutan yang diklaim sebagai kawasan hutan adat, seperti: leuweng awisan (kawasan hutan keramat dan bekas kampung tua), leuweng titipan (hutan penyangga dan dilindungi), leuweng garapan (hutan yang dapat digarap), serta perencanaan pengelolaannya. Musyawarah dan mufakat dilakukan tanpa tekanan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat Kasepuhan untuk seluas-luasnya menentukan keputusan dan haknya dalam setiap musyawarah.
- Menghentikan tindakan intimidasi, penangkapan, tekanan dan pelarangan terhadap masyarakat Kasepuhan untuk memanfaatkan hasil kayu dan bukan kayu dari lahan garapan kebun tanaman (talunt). Selanjutnya, pemerintah dan petugas kehutanan harus percaya kepada kemampuan dan pengetahuan masyarakat Kasepuhan dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan.
- Mengeluarkan kebijakan politik dan hukum untuk perlindungan hak-hak masyarakat Kasepuhan di Sukabumi.
Terima Kasih.
Penanggung Jawab
Y.L. FRANKY
Yayasan PUSAKA,
Kompleks TNI AL, Jl. Teluk Parigi Blok A. 95
Pasar Minggu, Jakarta Selatan (12520)
Telp/Fax. 021 – 7892313. Email: yay.pusaka@gmail.com
Kontak HP. 0813 1728 6019 dan 0878 8223 6991 (sementara)
UGIS SUGANDA
Perwakilan (SABAKI)
Kesatuan Adat Banten Kidul
Alamat: Desa Sirnaresmi, Kec. Cisolok, Kab. Sukabumi
Kontak HP. 0859 2187 3839