Minggu, 17 Agustus 2008

Balada Orang Pedalaman

Balada orang-orang pedalaman/ Di hutan, di gunung dan di pesisir/Manusia yang datang dari kota tega bodohi mereka/lihatlah tatapannya yang kosong tak mengerti apa yang terjadi/Tak tajam lagi tombak panah dan parang/Tak ampuh lagi mantra dari sang pawang/dimana cari hewan buruan yang pergi karena senapan/Dimana mencari ranting pohon kalau sang pohon tak ada lagi/Pada siapa mereka tanyakan hewannya/ya pada siapa tanyakan pohonnya/Saudaraku di pedalaman menanti sebuah jawaban yang tersimpan di langit/Balada orang-orang pedalaman/Di hutan, di gunung dan di pesisir/Manusia yang datang dari kota tega bodohi mereka......(Balada Orang Pedalaman-Iwan Fals).

Ada kesaksian yang terungkap. Sejumlah cerita nyata tentang kezaliman yang menimpa sebuah komunitas manusia yang pada zaman dahulu kala, justru terkenal sebagai suku yang perkasa dan akrab dengan alam. Kini cerita masa romantisme kehidupan mereka yang bersahabat dengan alam, hanya sebuah kenangan.

Cerita itu berganti menjadi kisah derita yang kurang lebih sama. Tanah, hutan, bahkan laut yang telah menjadi sumber hidup dan kehidupan mereka kini hampir semuanya rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi karena eksploitasi berlebihan yang dilakukan atas nama pembangunan, modernitas, serta pendapatan daerah atau negara. Mereka pun tidak pernah dapat apa-apa, kecuali sisa-sisa kerusakan, yang membuat mereka hidup dalam kemiskinan berkepanjangan, bahkan sebagian telah terserabut jatidirinya sebagai suatu suku bahkan sebagai manusia.

Semua itu terungkap pada pertemuan forum suku-suku asli Indonesia yang di gelar di Jambi belum lama ini. Sebanyak 15 suku asli dari Riau, Jambi, Mentawai dan Sulawesi menyampaikan kesaksiannya atas kezaliman yang mereka alami selama ini. Dari suku asli yang tinggal di wilayah pesisir/laut hingga suku-suku yang tinggal di pedalaman hutan. Dari pesisir /laut, suku asli seperti Guano,misalnya harus menghadapi kenyataan sumberdaya laut yang jadi pusat hidup dan kehidupan mereka rusak akibat pukat harimau.

“Pukat harimau telah mengganggu kehidupan yang ada di laut. Kami sendiri tidak bisa berbuat banyak karena toke-toke dan saudagar yang bermodal besar yang memilikinya. Padahal pukat harimau dilarang oleh Keppres No.39. thn 1980, tapi masih beroperasi, mungkin ini juga ada dukungan dari oknum aparat. Karena hal ini sekarang sangat sulit mencari ikan,” ungkap Anwar mewakili kawan-kawanya dari Suku Guano, memulai kesaksian.

Sementara suku asli Bengkalis, suku Akit, dan suku Laut, seperti halnya Suku Guano juga harus menghadapi kenyataan pahit atas hancurnya hutan bakau dan pengkaplingan area kelola rakyat dan dieksploitasinya hutan-hutan yang berada di wilayah hidup mereka. Sehingga untuk bertani pun tidak ada lahan.

“Sekarang hutan bakau dan hutan kami sudah habis. Kami kerja satu hari maka hanya cukup untuk makan satu hari pula,” ujar salah seorang wakil dari Suku Bengkalis. “Bisa Pembangunan tidak masuk ke desa kami. Anak-anak kami ada yang sekolah dan ada yang tidak. Sekarang kehidupan kami lari kelaut sebagai nelayan, apalagi sekarang hutan-hutan kami juga sudah habis. Kami hanya ingin hutan bakau yang kini dikelola oleh pengusaha-pengusaha yang punya HPH dapat menjadi hutan bakau ulayat kami”.

Senada juga diungkapkan Limun dari suku Akit yang tinggal di Rampang Saur IV, Kecamatan Batu Panjang. Pihaknya ingin menggugat ketidakadilan yang menimpa sukunya. Namun dia mengaku cukup takut. “Kerja kami satu-satunya adalah mengolah hutan dan bakau. Tapi sekarang bakau juga sudah habis”.
Sedangkan Anton dari Suku Laut mengatakan bahwa sukunya lebih banyak tinggal di laut dengan sampannya. Namun kini mereka sebagian tinggal di tanah milik toke. Satu-satunya pekerjaan yang mereka kuasai hanya nelayan. Namun suku Laut yang dahulu hidup berkelana di laut juga tidak berdaya.

“Ikan di daerah kami sudah sangat jarang karena kini yang punya uang bisa menggunakan kapal besar atau pukat harimau. Sementara mencari ikan di tempat lain juga sulit. Karena sudah berbatasan dengan negara lain. Kalau dulu sangat mudah meski sudah masuk perbatasan negara lain. Sekarang tidak bisa lagi. Sulit bagi kami mencari penghidupan. Sehingga anak-anak kami paling tinggi sekolahnya hanya SD. Banyak dari kami tidak punya uang dan terlibat hutang dengan toke. Kalau toke mengusir kami, kami tidak tahu harus kemana. Kami tidak punya tanah.”

Sementara di wilayah Sulawesi, suku-suku asli Bajo, Togean dan Wana menghadapi masalah dengan HPH yang mencaplok hutan adat mereka. Bahkan laut yang menjadi sumber hidup mereka yang tadinya tidak ada batas kini dibatasi dengan zona-zona yang ditentukan oleh Taman Nasional Laut dan pihak perusahaan yang mengedepankan pariwisata namun untuk kepentingan pihak luar. Dan masyarakat suku asli ini dibiarkan menjadi penontonnya saja dan hidup dalam kemiskinan.

“Masyarakat kami jarang yang mempunyai lahan untuk diolah,” jelas Yasin Labente dari suku Togean. “Karena HPH yang ada sejak 1970 milik PT Gobel mendapatkan konsesi selama 25 tahun. Dan Kepulauan Togean yang luas daratannya 70.000 ha, sebagian dikuasai oleh PT Gobel.”

Dari Suku Bajau juga diceritakan bahwa laut tempat mereka mencari ikan secara tradisional kini dijadikan Taman Nasional Kelautan. Terutama di daerah Bapongko, taman itu diambil alih PT Walea dari Italia yang telah menjadikannya sebagai tempat wisata.

“Kami bahkan tidak bisa menangkap ikan lagi berdasarkan musim. Kami tidak tahu harus mencarinya, sementara laut kami dijadikan wisata yang dikelola perusahaan Italia itu,” jelas Sahlan MN Lamuke.

Sedangkan Apali dari suku Wana menceritakan bagaimana hutannya kini terancam dengan penebangan liar dan pencurian. Padahal mata pencaharian utama mereka adalah rotan dan damar yang semuanya dari hutan. “Sekarang, damar habis ditebang oleh pencuri-pencuri dan pengusaha-pengusaha. Makan kami sekarang hanya tingal pisang dan ubi. Kami tidak pernah cari ikan di laut karena kami jauh dari laut. Kami mengharap ikan di sungai, tapi kini sungai juga terancam keruh karena hutan-hutan di tepinya sudah habis ditebang.”

Sementara suku-suku asli minoritas yang hidup di wilayah daratan/pedalaman, ancaman hidup terbesar yang dirasakan adalah tersingkirnya mereka oleh pendatang lewat program yang dicanangkan pemerintah (kasus transmigrasi di daerah Jambi telah menyingkirkan suku Talang Mamak). Termasuk pengkaplingan wilayah hidup mereka demi kepentingan perusahaan-perusahaan dan industri-industri besar. Hadirnya izin Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan; Hak Pengusahaan Hutan (HPH); Hutan Industri; yang ditetapkan dari pusat tanpa mempertimbangkan pengetahuan dan kearifan yang telah berlangsung di kawasan tersebut membuat hidup Suku Batin IX, Mentawai; Seko, Orang Rimba; Sakai dalam kesengsaraan yang panjang. Disisi lain mereka juga sering mengalami diskriminasi baik sosial, i pendidikan dan kesehatan.

“Lahan kami seluas 2.000 ha digusur oleh PT Asiatik, dan tidak diganti. Kami pernah mencoba mencegahnya, tapi malah ditangkap Korem. Lalu kami lari ke hutan,” jelas Jalani dari Suku Bathin IX, Desa Bungku, memulai kesaksian. “Sekarang kami mau menebang hutan tapi tidak boleh. Lahan termakan semua oleh PT Asiatik. Jadi sekarang masyarakat Bungku kehidupannya terjepit dan masyarakat tidak punya lahan sejari pun.”

Sementara Julianus dari suku Mentawai mengungkapkan bahwa di Pulau Siberut yang luasnya tidak lebih dari 40.000 ha kini hutannya tengah dieskploitasi secara besar-besaran oleh dua buah perusahaan besar yaitu PT. Monang Sejahtera dan PT. SSS. Perusahaan ini tidak membawa kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakat Mentawai. Ironisnya masyarakat Mentawai kini mengalami krisis internal yaitu yang pro dan kontra atas hadirnya perusahaan itu.

“Di suku Sakai hutan kami dimasuki oleh PT Caltex sejak tahun 1957. Mereka membuka ladang-ladang minyak di sana. Ramailah berbagai orang datang. Sejak masuknya orang-orang asing ini, suku Sakai terzalimi oleh mereka dan aparat pemeritah yang mendukung. Akibatnya kini dampak pembangunan di semua sektor di atas ulayat hutan Sakai di Minas dan adanya HPH, HTI dan sebagainya telah menghancurkan hutan ulayat kami,” ungkap Yatim dari Suku Sakai.

Dari suku Seko pun meski sudah berusaha keras melawan akhirnya juga tidak berdaya ketika menghadapi kenyataan lahan-lahan persawahan mereka di patok oleh PT.Seko Fajar. Seluas 40.000 ha sawah masyarakat diukur kemudian dipatok. Bahkan yang membuat mereka bingung lahan peternakan mereka pun ikut dipatok.


Berusaha dan berjuang


Kendati terbatas dalam pengetahuan dan kekuatan, masyarakat suku asli yang terpinggirkan ini menunjukkan upaya perjuangan atas nilai-nilai keadilan yang harusnya mereka terima. Meski sebagian dari mereka harus membayarnya dengan di penjara, di teror dan diintimidasi dan terancam jiwa sakalipun. Dengar saja kesaksian yang diungkapkan Temenggung Tarib salah satu pemimpin Orang Rimba di Air Hitam Jambi.

“Orang luar (yang akan masuk hutan) pernah menyumpahi saya dengan kasar. Bahkan diancam akan di potong lehernya jika saya mau menjual dan menyerahkan hutan dengan sawit. Kami bilang,’Kami butuh hutan.’ Ketika saya buka hompongan, kebun karet, mereka menyebut saya ingin menjadi Orang Dusun. Kami ini Orang Rimba.”

Di tangkap CPM saat sholat Isya juga dialami Yatim dari Suku Sakai karena kevokalannya agar pemerintah mengembalikan hak ulayat mereka. Dia di larang menggugat karena itu artinya dia melawan negara.

“Mereka bilang, bumi air, tanah dan kekayaan yang ada di dalamnya adalah milik negara. Katanya juga, tidak ada itu hak ulayat dari suku. Padahal harapan kami, pemerintah harus membebaskan tanah ulayat yang menjadi hak kami. Kami juga ingin pemerintah bisa memperhatikan pendidikan bagi masyarakat Sakai.

Harusnya juga setiap perusahaan yang bekerja di atas tanah ulayat Sakai dapat mempekerjakan suku-suku asli Sakai di sana,” tandas Yatim.

Berjuang melalui sistem juga dilakukan oleh suku-suku. Upaya class action yang dilakukan oleh suku Togean dan upaya memunculkan PERDA oleh suku Seko adalah upaya untuk mempengaruhi pihak-pihak terkait agar serius dan peduli atas keberlangsungan hidup mereka. Beberapa suku menerima pendampingan dari beberapa LSM atau organisasi massa yang peduli dengan nasib mereka untuk bisa membantu mereka dalam menaikkan harga diri mereka sebagai sebuah suku yang terhormat. Sebagian dari suku-suku kemudian diikutsertakan dalam pemetaan partisipatif wilayah kelola hidup, dimana hasil pemetaan partisipatif ini dijadikan sebagai alat untuk negosiasi dengan pihak pemerintah. Bahkan upaya membangun solidaritas diantara suku-suku asli telah diupayakan sejak hampir 5 tahun terakhir, seperti adanya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diikuti oleh organisasi/forum ditingkat lokal. Namun upaya-upaya tersebut masih belum dikatakan berhasil, karena sampai saat ini pun kondisi nyata di lapangan berdasarkan kesaksian suku-suku asli yang hadir dalam forum ini masih terus berlangsung dan semakin mengancam keberlanjutan hidup mereka.

Sekretaris Pelaksana AMAN, Emil Kleden juga menambahkan, bahwa upaya perjuangan harus digerakkan secara solid oleh masyarakat suku asli sendiri. Suku-suku asli disarankan juga membuka mata terhadap negara sehingga mereka bisa tahu sasaran yang tepat dengan siapa harus berhubungan terhadap persoalan yang dihadapi.

“Ada pengalaman yang menarik seperti yang diceritakan kawan-kawan saya dari suku Laode dari Sulawesi Tengah tahun 1990-an. Mereka bahkan tidak tahu presiden. Mereka juga heran kenapa ada petugas yang datang untuk menagih PBB padahal lahan mereka itu ukurannya adalah bukit. Lalu mereka bingung dengan pajak yang besar. Saya sendiri SD di pedalaman Flores yang tidak tahu dengan departeman sampai dengan tamat SD, jadi itu sebagai contoh bahwa kita mesti tahu soal kehadiran dari negara. Jadi integrasi itu ada pengaruhnya disatu sisinya baik, tapi banyak yng harus dipertanyakan kembali.

Emil juga menyayangkan bahwa negara lewat alat kekuasaannya seringkali hanya melihat bahwa tanah dan hutan hanya bisa diambil hasilnya. Tidak memikirkan sama sekali tentang cara pandang dan adat-budaya yang berlaku di suku asli tersebut. Bahkan jawaban bagi yang menentang adalah dengan ancaman dan intimidasi. Karena itu, menurut Emil, suku asli harus bisa mengorganisir dirinya dengan baik guna menghadapi ancaman atau intervensi negara terhadap tanah atau laut mereka.

Sementara Antropolog Universitas Indonesia, Iwan Citra Jaya, melihat bahwa era Otonomi Daerah harusnya juga memberikan kesempatan kepada suku-suku asli di Indonesia di beri hak menentukan nasibnya sendiri.

“Artinya berbalik. Kalau yang semula masyarakat mayoritas atau negara itu masuk lalu “menjajah” suku-suku asli minoritas kemudian mempengaruhi gaya hidup mereka seperti masyarakat mayoritas, maka harusnya itu bisa diubah atau sebaliknya. Setidaknya ada kesadaran agar negara dan masyarakat mayoritas bisa mengubah dirinya untuk menerma perbedaan budaya dari suku-suku asli minoritas ini.”

Jika kemudian hari dalam jangka waktu tertentu suku-suku asli minoritas tersebut memutuskan untuk mengikuti gaya hidup “beradab” masyarakat mayoritas seperti yang diinginkan negara, maka, tambah Iwan lagi, itu hendaknya atas pilihan masyarakat suku asli sendiri.
“Jadi bukan melalui proses yang dirancang sedemikian rupa untuk mengubah gaya hidup suku-suku asli minoritas dan mengikuti arus kehidupan dan ekonomi yang dominan seperti sekarang ini,” tandas Iwan.

(Musfarayani) - sekarang jadi penulis lepas.

Telah publish sebagai laporan utama pada : Majalah Alam Sumatera edisi 2/tahun IV/ Mei-Agutus 2005/hal.8-10/dok.KKI Warsi.

Sumber : http://musfarayani.multiply.com/reviews/item/8

Tidak ada komentar: