Minggu, 17 Agustus 2008

Kontrak Sosial-Politik Taktik Mencegah Tokoh Berkelit

TOKOH politik Indonesia harus belajar menahan diri karena sepak terjangnya mulai dibatasi oleh kontrak sosial dalam Pemilu 2004. Saat ini jaringan gerakan rakyat kecil yang menghimpun petani, nelayan, dan masyarakat adat sedang merintis kontrak sosial yang memberi batasan wewenang berikut program kerja kepada tokoh politik yang harus dipertanggungjawabkan kepada para pemilih selama lima tahun masa kerja mereka.

DIREKTUR Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Emil Kleden, Direktur Eksekutif Bina Desa Syaiful Bahri, dan pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Harris menanggapi terobosan pembangunan komunikasi politik melalui kontrak sosial antara rakyat dan tokoh politik. Kontrak itu merupakan upaya mengikat dan menuntut politikus yang cenderung bertindak habis manis sepah dibuang sebagaimana biasa melupakan janji semasa kampanye setelah menduduki jabatan.

Bivitri Susanti menjelaskan, ada kesadaran bersama tentang komunikasi politik antara legislatif dan pemilih yang belum terjadi hingga kini. Padahal, mereka-anggota legislatif itu-dipilih melalui proses "pesta demokrasi" yang kenyataannya hanya ajang hura-hura politik, tanpa pertanggungjawaban kepada pemilih.

"Hal yang terpenting dalam proses demokratisasi Indonesia bukanlah agar pemilu (pemilihan umum) berjalan mulus, melainkan lima tahun masa kerja setelah pelaksanaan pemilihan anggota legislatif," kata Bivitri. "Yang terpenting adalah siapa yang mau ’mencuci piring’ setelah ’pesta’ demokrasi, dalam arti, bertanggung jawab kepada rakyat yang memilih mereka."

Komunikasi politik yang dimaksud setara dengan pertanggungjawaban tokoh politik secara langsung kepada rakyat, khususnya khalayak pendukung. Mereka harus membuka dialog, menerima kritik, dan masukan dari rakyat secara terbuka.

Selama ini di Indonesia anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) enak saja lenggang kangkung, tak usah menemui khalayak pemilih dari daerah yang mereka "wakili". Rakyat di daerah pemilihan umumnya tidak mengenal wakilnya sebab secara sepihak ditentukan dan asal comot oleh dewan pemimpin pusat partai di daerah yang dinilai potensial bagi kemenangan mereka.

Praktis rakyat hanya memilih tanda gambar partai tanpa mengenal siapa wakil mereka. Tentunya anggota legislatif tidak usah membuat kontrak sosial dengan rakyat yang diwakili dalam mekanisme seperti ini.

KOMUNIKASI tokoh politik dengan pemilih sebetulnya telah diupayakan dalam aturan main di DPR. Setidaknya, dalam tiap masa reses diatur supaya anggota Dewan mengunjungi daerah yang diwakili untuk menjalin komunikasi dengan rakyat. Konsep ini sudah termaktub dalam tata tertib DPR yang menganggarkan uang kunjungan kerja untuk menjalin komunikasi itu.

Uang kunjungan kerja memang mengalir deras karena telah dialokasikan dan sangat besar. Namun, tidak bisa dibuktikan apakah terjadi komunikasi atau pertemuan terbuka antara rakyat dan anggota Dewan yang mereka pilih.

Bivitri menambahkan, kunjungan anggota DPR yang terhormat itu justru untuk menemui dewan pimpinan daerah (DPD) atau kader di daerah. Jadi, tidak pernah sempat bertemu langsung dengan pemilih. "Lebih buruk lagi, kesempatan ini dipakai untuk menemui para cukong di daerah untuk bersama-sama mencari proyek pembangunan yang menambah kocek pribadi atau partai," kata Bivitri.

Sebagai contoh, dalam pertemuan seorang anggota DPR dari Partai Golkar di Bukittinggi beberapa waktu lalu, ternyata masyarakat tidak mengenal wakil mereka. Demikian pula sang anggota DPR tidak berasal dari Bukittinggi. Untunglah anggota DPR itu mampu mencairkan suasana dan berhasil membuka komunikasi dengan masyarakat setempat.

Di negara demokrasi seperti Amerika Serikat dan Filipina, sistem komunikasi politik langsung dengan pemilih sudah berjalan lancar. Para senat secara teratur bertemu langsung dengan rakyat di daerah pemilihan mereka. Malah, mereka juga membuka kantor pribadi untuk mengurus kepentingan rakyat di daerah pemilihan mereka. Pendukung atau rakyat kebanyakan di daerah pemilihan tersebut dapat mengajukan keluhan, mengadukan nasib, atau menuntut janji yang telah diberikan sang anggota senat selama kampanye pencalonan. Kantor itu dikelola secara profesional dan dibiayai secara pribadi oleh para senator.

SALAH satu preseden positif ke arah kontrak sosial seperti dilakukan Alvin Lie di Semarang menarik disimak. Alvin Lie secara khusus mendirikan kantor pelayanan aspirasi masyarakat di kota itu sebagai daerah pemilihan, tetapi tidak membawa nama Partai Amanat Nasional (PAN), partainya.

"Persoalan nasional seperti diskriminasi rasial diperjuangkan di tingkat nasional sesuai dengan kapasitas saya sebagai anggota DPR," kata Alvin. "Untuk persoalan di tingkat lokal diteruskan kepada DPRD setempat."

Untuk memperkenalkan kantor pelayanan tersebut, dia menggunakan jasa radio dan pengurus PAN di Jawa Tengah. Sejauh ini tanggapan masyarakat terhadap kantor itu dianggap positif dengan banyaknya pengaduan yang masuk. Meski demikian, Alvin mengakui perlu upaya lebih serius meliatkan pembukaan kantor anggota legislatif di daerah pemilihan. Sosialisasi di kalangan partai dan politikus perlu dilakukan dan itu menelan biaya yang tak sedikit.

Di pihak lain, upaya kontrak sosial dalam Pemilu 2004 diterapkan khalayak akar rumput di sejumlah daerah, seperti Sumatera Utara, Bengkulu, dan Sukabumi, dalam pencalonan calon anggota DPD setempat. Syaiful Bahri dari Bina Desa menyatakan, pilihan membuat kontrak sosial ini paling realistis untuk Pemilu 2004 sebagai masa pembelajaran ke tahap berikut: partisipasi politik yang lebih intens bagi rakyat.

Pembuatan kontrak politik ini telah dilakukan perhimpunan tani dan perempuan pedesaan di Sumatera Utara dalam menentukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang pernah dikecewakan anggota legislatif dari PAN. Hal sejenis dilakukan Himpunan Petani dan Nelayan Pakidulan di Sukabumi, Jawa Barat.

Calon anggota DPD tersebut diminta memberikan visi, misi, dan program kepada masyarakat desa. Bila paparan yang diberikan sejalan dengan kebutuhan masyarakat desa, mereka diminta membuat kontrak tertulis yang ditandatangani seperti sebuah perjanjian hukum antardua pihak. Sering muncul kendala karena sebagian besar kandidat-umumnya berasal dari kalangan akademikus-tidak dikenal secara pribadi oleh masyarakat pedesaan.

Pernah terjadi seorang akademikus di Sumatera Utara menolak menandatangani perjanjian dengan pemilih karena merasa dianggap tidak dipercaya. Namun, setelah diberi penjelasan tentang nilai pembelajaran kontrak sosial, barulah dia bersedia menandatangani perjanjian.

Kontrak itu memang tidak mengandung sanksi perdata atau pidana. Yang ditekankan adalah konsekuensi moral terhadap citra anggota DPD yang melanggar kontrak sosial. Untuk menghukum pelanggaran terhadap kontrak sosial mereka, pihak pemilih akan menggunakan media sebagai pengadilan terhadap anggota DPD yang ingkar janji.

Kiat membuat kontrak sosial belum diterapkan pemilih di pedesaan terhadap anggota DPR karena dinilai tidak akan membawa hasil maksimal. Ini didasari pertimbangan kemungkinan besar anggota DPR akan berkilah mengingkari janji dengan dalih kebijakan partai berbeda dengan apa yang dijanjikan dalam kontrak sehingga tidak dapat ia laksanakan.

Lagi pula, terlalu banyak jalur birokrasi yang ditempuh dalam membuat kontrak sosial dengan anggota DPR. Dominasi partai terhadap anggota legislatif turut menghalangi berkembangnya kontrak sosial. Kontrak sosial warga pedesaan atau masyarakat adat juga memiliki bentuk lain dalam memilih calon DPD dari komunitas mereka. Musyawarah masyarakat menentukan siapa calon anggota DPD yang akan mengemban amanat mereka.

Setelah penentuan calon anggota DPD dari masyarakat, ditetapkanlah agenda kerja yang ditentukan oleh para pemilih. Sang calon yang tunduk kepada mandat yang diberikan diwajibkan bertemu dengan khalayak menyampaikan program kerja. Kontrak ini membuat masyarakat terwakili secara langsung di legislatif mengingat kenyataan bahwa mereka belum mampu membuat partai politik sendiri. Filosofi ini turut diamini oleh Emil Kleden dari AMAN yang menghimpun lebih dari 700 masyarakat adat se-Indonesia.

Kekuatan lokal ini tidak bisa diabaikan begitu saja dalam demokratisasi Indonesia. Sebagai contoh, kata Kleden, pemilih dari jaringan AMAN dapat menghasilkan 5-10 persen kursi legislatif. Ini belum meliputi jaringan petani dan nelayan yang mencapai jumlah lebih dari separuh penduduk Indonesia! Saat ini jaringan kerja Bina Desa merancang pertemuan untuk menetapkan parameter terhadap kinerja anggota DPD yang mereka "kontrak".

Sebagian besar syarat yang diajukan masyarakat dalam kontrak sosial yang muncul adalah penyelesaian kasus, terutama di bidang pertanahan. Klausul yang ada dalam kontrak sosial sangat khas, tidak sekadar menyebutkan memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) seperti yang diumbar partai politik. Kasus per kasus yang mencuat di masyarakat lokal diajukan pemilih kepada calon anggota DPD untuk diperjuangkan semasa jabatan lima tahun.

Gerakan serupa, kata Bivitri, terjadi di Makassar. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat ((LSM) telah mengikat calon anggota DPD dengan kontrak sosial di atas kertas bermeterai yang ditandatangani para calon senat tersebut. Sejumlah daerah lain juga menyusul mendapat sosialisasi kontrak sosial caleg pemilih, seperti berlangsung di Gorontalo, Surabaya, dan Bandung.

Memang tidak disebutkan sanksi hukum apabila terjadi pengingkaran, Akan tetapi, setidaknya masyarakat memiliki bukti janji apa yang telah diberikan anggota DPD sebelum terpilih. Calon anggota DPD di Makassar diwajibkan menjelaskan visi dan misi kepada pemilih sebelum mendapat dukungan tanda tangan masyarakat.

Pihak partai politik pun tak ketinggalan membangun komunikasi dengan pemilih dalam kapasitas terbatas. Saat ini ada beberapa partai, seperti Partai Indonesia Baru (PIB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang telah membukukan janji mereka kepada masyarakat.

KONTRAK sosial harus diperjuangkan karena berdampak positif bagi masa depan politik Indonesia yang lebih sehat dan demokratis. Menurut Syamsuddin Harris, upaya ini membuat pemilih mengenal wakil mereka di lembaga legislatif sekaligus mengontrol sejauh mana komitmen tokoh politik terhadap janji yang diberikan kepada masyarakat.

Untuk saat sekarang, perjanjian berlaku lebih efektif kepada anggota DPD karena lebih mudah melakukan negosiasi dengan mereka. Di sini hubungan pemilih dengan individu langsung. Tentu perjanjian ini perlu diikuti dengan konsekuensi yang tegas.

Sebaliknya, kiat ini sulit diterapkan bagi anggota DPR di tingkat nasional ataupun daerah karena campur tangan partai politik sangat dominan: keterpilihan calon anggota legislatif lebih ditentukan partai, bukan rakyat! Lagi pula, tidak ada ketentuan domisili bagi caleg, katakanlah yang mengharuskan mereka tinggal di daerah yang diwakili. Dengan demikian, posisi pemilih akan lemah dalam kontrak politik.

"Untuk masa mendatang, kontrak sosial dapat diberlakukan pada anggota DPR secara menyeluruh jika pemilu menggunakan sistem distrik," kata Harris. "Sistem pemilu saat ini, yang menggunakan aturan setengah hati, tidak memungkinkan keterpilihan calon anggota legislatif ditentukan langsung oleh rakyat. Otomatis tidak mungkin kontrak sosial berlaku efektif dalam sistem yang menempatkan partai politik mendominasi proses keterpilihan caleg seperti saat ini."

Dengan perubahan sistem pemilu, posisi pemilih dalam menagih janji tokoh politik menguat. Fenomena kontrak politik merupakan hal positif selama tidak didasari semangat manipulatif tokoh politik yang kerap memanfaatkan keluguan pemilih. Keberadaan kontrak politik menjadi penting mengingat gejala politik uang semakin kuat dan para politikus semakin banyak yang putus saraf malunya. Mekanisme hukum Indonesia yang sangat lemah memungkinkan tokoh politik berperilaku seperti itu. Ini dapat dilacak pada paket undang-undang politik, terutama mengenai pemilu, yang bagian aturan penegakan hukumnya sangat lemah.

Ironis memang: justru pihak LSM dan pengamat yang lebih banyak peduli terhadap penegakan hukum dalam Undang-Undang Pemilu. Boleh jadi, ini gejala awal dari rangkaian ketidakberesan proses Pemilu 2004.

Saat ini upaya mengikat tokoh dengan sistem kontrak antara masyarakat dan caleg tampaknya alternatif paling realistis untuk memperbaiki demokrasi Indonesia. Dengan kontrak sosial, rakyat tentu berharap tidak lagi terjepit oleh pertarungan tokoh. Sebaliknya, tokoh politik pun tak mudah berkelit karena ada bukti hitam di atas putih tentang tanggung jawab mereka. (IWAN SANTOSA)

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/22/Fokus/703208.htm

URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/22/Fokus/

Tidak ada komentar: