Minggu, 17 Agustus 2008

Peradilan Adat: Cermin Upaya Membangun Otonomi

Peradilan adat bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak sebelum Indonesia merdeka, peradilan adat telah begitu dipercaya oleh masyarakat sebagai mekanisme penyelesaian konflik/sengketa di tingkat lokal (komunitas). Sayangnya saat ini kepercayaan masyarakat adat/local terhadap peradilan adat telah memudar di banyak tempat ketika negara tidak lagi Mengakui keberadaannya serta menghormati segala putusan yang dihasilkannya.


Emil Kleden

Diskursus peradilan adat pada dasarnya merefleksikan hubungan negara dan masyarakat. Hubungan ini dapat dikatakan secara sederhana sebagai sebuah realitas politik bahwa dalam negara pun sesungguhnya ada ruang untuk masyarakat. Dalam negara demokrasi, yang dimaksud dengan ruang negara adalah keseluruhan wewenang dan struktur terkait yang oleh rakyat telah diserahkan kepada negara untuk diatur. Sedangkan sebagian urusan lain tetap diurus oleh masyarakat sendiri karena mereka mampu dan akan lebih efektif.

Peradilan adat sebagai salah satu ekspresi keberadaan hukum adat bukanlah hal baru atau pun yang sudah dilupakan orang di Indonesia. Tapi pertanyaannya adalah apa itu peradilan adat? Upaya penyelesaian sengketa di tingkat komunitas masyarakat adat yang dibatasi oleh wilayah dan struktur pengurusan komunitas mungkin dapat menjadi penjelasan sederhana tentang apa itu peradilan adat.

Menurut rekaman sejarah tertulis, system peradilan telah ada di pulau-pulau nusantara sejak abad ke-9. Prasasti Bulai dari Rakai Garung dari Kerajaan Sriwijaya, bertahun 860 telah menyebutkan tentang peradilan adat untuk perkara perdata. Bahkan sebelum kedatangan budaya Hindu dan Islam berbagai komunitas masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara telah mengenal sistem peradilan, meskipun tidak ada bukti sejarah tertulis untuk ini.

Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu yang lama, maka jejak-jejak yang menggambarkan keberadaannya masih bisa dilacak. Bahkan di beberapa tempat bentuk nyatanya masih bisa disaksikan dan terus dipraktekkan hingga sekarang. Kenyataan ini sekaligus menggambarkan kemampuan bertahan dari sistem ini terhadap seluruh upaya pemberangusannya. Meskipun potretnya sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas masyarakat belum memiliki interaksi yang luas dengan budaya luar. Kenyataan tersebut tidak mengurangi nilai dari upaya serta kemampuan adaptif dari sistem ini.

Pemerintah kolonial memberikan landasan hukum pengakuan yang berbeda-beda tentang keberadaan peradilan adat di berbagai tempat di nusantara dengan mengeluarkan berbagai Staatblaad. Beberapa contohnya adalah Stb. 1881 No. 83 untuk Aceh Besar, Stb 1886 No. 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb. 1889 No. 90 untuk daerah Gorontalo. Kemudian pada 18 Februari 1932, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Stb. No. 80 yang mencabut dan menggantikan berbagai ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap peradilan adat, yang sebagian disebutkan di atas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah baru. Namun adanya peraturan ini tidak berarti peradilan adat hanya ada di tempat-tempat yang disebutkan oleh Staatblad tersebut. Nyatanya, peradilan adat ditemukan di banyak tempat lain di Indonesia. Pengakuan yang diberikan tersebut juga tidak berarti bahwa pemerintah kolonial membiarkan utuh dan menghormati sistem peradilan adat ini. Berbagai bentuk campur tangan seperti yang dilakukannya terhadap peradilan gubernemen juga berlangsung terhadap peradilan adat di daerah-daerah tersebut. Staatblad. 1935 No. 102 menyisipkan Pasal 3a ke dalam R.O yang mengatur mengenai kewenangan hakim-hakim dari masyarakat- masyarakat hukum kecil untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara adat yang menjadi kewenangannya. Kewenangan hakim ini tidak mengurangi kewenangan para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya kepada putusan hakim. Dengan disisipkanya pasal ini kedudukan peradilan desa diakui. Sehingga kemudian selama pemerintahan kolonial, dikenal 2 bentuk peradilan bagi orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa yang tidak memiliki dasar perbedaan yang prinsipil.

Di alam kemerdekaan, proses intervensi ini berlanjut dengan dikeluarkannya Undang- Undang Darurat No. 1 tahun 1951 pada tanggal 13 januari 1951, yang mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Melalui ketentuan ini dipertegas niatan untuk mewujudkan unifikasi system peradilan. Undang-undang ini berisi 4 hal pokok, yaitu: Penghapusan beberapa peradilan yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan; Penghapusan secara berangsur-angsur peradilan swapraja di daerah-daerah tertentu dan semua peradilan adat; Melanjutkan peradilan agama dan peradilan desa, sepanjang peradilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri atau terpisah dari peradilan adat; Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-tempat dimana landgerecht dihapuskan;

Untuk melaksanakan undang-undang ini terkait dengan penghapusan peradilan adat, pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan untuk menghapuskan pengadilan swapraja dan peradilan adat di Sulawesi, Lombok, Kalimantan, dan Irian Barat. Tahun 1964 keluar Undang-Undang No. 19 (LN. 1964 No. 107) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) undang-undang ini menyebutkan bahwa peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan undang-undang. Undang-undang ini dicabut dan digantikan oleh Undang-undang No. 14 tahun 1970 (LN. 1970 no. 74).

Dalam Pasal 3 ayat (1) -nya, disebutkan bahwa semua peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Di Pasal 39 disebutkan juga mengenai penghapusan pengadilan adat dan swapraja yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, sejak hadirnya undang-undang ini maka pengadilan swapraja dan peradilan adat di Indonesia tidak diakui lagi. Tetapi usaha untuk mengintervensi dan menundukkan system peradilan adat ternyata tidak sesukses yang diharapkan. Di banyak komunitas, proses ini masih berjalan hingga sekarang. Kenyataan ini membuktikan bahwa kemampuan bertahan dari system ini sungguh luar biasa. Pilihan sikap masyarakat terhadap sistem nilai yang dimilikinya, mungkin merupakan salah satu jawaban kunci terhadap kenyataan ini. Faktor lain yang menyebabkan tetap eksisnya peradilan adat dalam budaya masyarakat, adalah sifat fungsional dari peradilan adat itu sendiri. Fungsionalitasnya tidak berkurang untuk memproduksi keadilan, keteraturan dan ketentraman bagi warganya.

Bila dilihat pengalaman beberapa komunitas masyarakat adat yang hingga saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan dan kepercayaan warga komunitas inilah yang menjadi daya pemberi hidup bagi keberadaan sistem peradilan adat di lingkungan mereka. Posisi peradilan adat yang merupakan bagian dari system sosial masyarakat semakin mempertinggi kemampuan bertahan dari sistem ini. Hal ini dapat dilihat dari tujuan dasar peradilan adat yang umumnya untuk menjaga harmoni dalam komunitas masyarakat adat, dan pemahaman akan konsep keadilan mereka yang tidak semata-mata bersifat material. Ada contoh kontemporer tentang sistem peradilan adat yang masih diketahui, dijalankan, dan sampai tingkat tertentu masih dipatuhi oleh anggota komunitas masyarakat adat.

Di daerah Kei Maluku Tenggara misalnya dikenal hukum Larwur Ngabal yang berlaku di seluruh wilayah Kei. Ketentuan ini masih sangat kuat. Saat ini Larwur Nagabal ini terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu: Nevnev, yang terdiri dari tujuh pasal ketentuan yang melarang pikiran, perkataan dan tindakan yang menyakiti, mencelakai, menghancurkan dan mematikan manusia; Hanilit, yang terdiri dari tujuh pasal dan dua pasal tambahan tentang kesusilaan, serta; Hawaer batwirin, yang terdiri dari tujuh pasal mengenai kepemilikan. Hukum ini menjadi satu-satunya hukum sebelum munculnya hukum agama dan negara yang ditegakkan oleh Raut (raja) dan Soa (setingkat kadus), yang kewenangan penyelesaiannya didasarkan pada berat-ringannya perkara. Prosesnya sendiri berawal dari laporan kepada pemimpin adat oleh orang yang merasa haknya dilanggar. Selanjutnya pemimpin adat menghubungi pihak-pihak yang berperkara dan menentukan hari persidangan. Pada waktu persidangan pihak-pihak yang berperkara hadir dengan saksi masingmasing. Sidang dipimpin oleh pemimpin adat didampingi Dewan Adat. Dalam perkara pelanggaran susila, perempuan hanya boleh diperiksa oleh beberapa perempuan yang dituakan.

Dalam prakteknya, Larwur Ngabal mengandung dua sanksi, yakni sanksi kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhunin, semacam hukum karma. Sanksi inilah yang diyakini akan diterima oleh pihak yang mengelabui proses persidangan, sehingga berhasil lolos dari sanksi kebendaan. Sanksi Kevhunin ini tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara, tetapi juga bagi semua pihak yang ikut dalam proses persidangan. Kenyataan di beberapa daerah lain menunjukkan tidak semua peradilan adat memiliki daya tahan yang sama seperti peradilan adat di atas. Daerah yang berdekatan dengan wilayah perkotaan, sistem peradilan adatnya sudah tidak lagi tampak.

Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah alternatif sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam sistem peradilan nasional Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk menyelesaikan sengketa di peradilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan atas kekuatan daya berlaku keputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat yang bisa memaksakan penegakannya. Namun, sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat, lebih disebabkan karena tidak adanya pengakuan negara terhadap eksistensinya. Persoalan yang penting untuk dijawab negara dalam hubungannya dengan masyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi ruang dengan masyarakat dalam hal-hal tertentu. Misalnya di bidang hukum dan peradilan, dengan penekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib sosial dan tercapainya kesejahteraan. Upaya menemukan sebuah sistem hukum yang dapat menjamin secara setara seluruh kebutuhan akan tertib sosial dalam realitas sosial yang demikian beragam seperti Indonesia memang bukanlah persoalan mudah. Namun, kesulitan tidaklah pantas untuk dijadikan alasan pembenaran penyeragaman seluruh konsep hidup masyarakat di Indonesia. Alasan utama adalah bahwa tindakan itu merupakan refleksi upaya mekanisasi manusia, membuat manusia seperti mesin yang dapat dikendalikan oleh sebuah pusat kontrol, yang dalam komputer kita kenal sebagai central processing unit. Hal itu juga mengingkari prinsip bahwa setiap kelompok masyarakat, sebagaimana individu, sesungguhnya memiliki kapasitas membangun otonominya sendiri dalam mengurusi urusan-urusan yang dapat dibereskan sendiri. Di sini terkandung unsur meringankan beban negara. Pola hubungan inilah yang mesti terus dibangun dan bukannya diberangus.

Sumber : http://www.huma.or.id/document/

Tidak ada komentar: