Jumat, 15 Agustus 2008

Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia[1]

Emil Kleden

Perdebatan tentang land tenure atau resource tenure tidak dapat dipisahkan dari factor masyarakat sebagai sebuah satuan sosial politik. Dan juga, di pihak lain, terdapat Negara dan berbagai lembaga-lembaga internasional lintas negara (Transnational Institutions)[2] yang juga berkepentingan dengan persoalan ini. Dalam perspektif hukum, interaksi berbagai lembaga tersebut dengan masyarakat –khususnya masyarakat adat - telah melahirkan dinamika perdebatan yang tajam tentang bagaimana seharusnya “a bundle of rights” diatur, supaya capaian-capaian yang terukur bagi semua pihak dapat dikatakan mengalami perkembangan yang signifikan dalam konteks “kesejahteraan”.

Sejauh mana peran transnational institutions dalam interaksi negara dan masyarakat dalam konteks hukum adalah persoalan krusial yang perlu selalu direfleksi dari waktu ke waktu. Ini terutama disebabkan oleh perbedaan paradigma, konseptualisasi nilai-nilai anutan, prinsip-prinsip dasar dan metode-metode yang digunakan oleh berbagai lembaga tersebut – termasuk lembaga-lembaga negara – sehingga upaya menemukan titik sambung atau titik singgung adalah persoalan yang harus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat, untuk mengurangi resiko konflik. Apa dan bagaimana seharusnya peran negara dan organisasi-organisasi civil society dalam hal ini?

Pendahuluan

Persoalan hak penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam di Indonesia, secara sepintas dapat digambarkan melalui peta konflik agraria di Indonesia, yang dihasilkan oleh kerja advokasi Konforsium Pembaruan Agraria (KPA).[3] Dari data tersebut tampak bahwa konflik agraria terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Dari tahun 1950-an sampai akhir dekade 90-an terdapat 1455 kasus yang teridentifikasi oleh KPA; dari jumlah itu tidak sampai 50 kasus yang terjadi sebelum 1980. Artinya, konsentrasi kasus terutama dalam duapuluhan tahun terakhir. Dari sekian ribu konflik yang terjadi, tidak ada satu pun yang berakhir dengan kemenangan pihak masyarakat (adat dan lokal) dalam berhadapan dengan pihak perusahaan dan negara melalui jalur hukum. Seluruh masyarakat yang terlibat dalam berbagai kasus tersebut adalah korban yang kalah dalam pengertian yang paling tragis: tergusur, diusir, tidak mendapat ganti rugi, ditahan, ditembak dan kehilangan lahan untuk waktu yang tak dapat diperkirakan, dan dengan demikian kehilangan sumber hidup dan putusnya pertalian dengan sumber budaya mereka. Data olahan KPA tersebut menyebutkan bahwa jumlah keluarga yang menjadi korban dalam kasus tersebut adalah 242.088 KK dan jumlah korban individu manusia sebesar 533.866. Jika data KPA ini dapat dipercaya, maka berarti dalam setiap kasus rata-rata timbul korban 367 manusia, baik yang kehilangan nyawa, tanah, terusir dan tergusur, mengalami kekerasan fisik dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya. Pertanyaan penting yang muncul di sini adalah: (a) Mengapa muncul konflik? Dan (b) Mengapa masyarakat selalu kalah di jalur hukum formal?

Di satu sisi, kita melihat kenyataan (de facto) bahwa masyarakat, khususnya masyarakat adat, menetap di satu tempat dan mengelola tanah dan sumberdaya alam di tempat itu berdasarkan sejarah yang panjang dan melalui sebuah interaksi intens dengan alam yang melahirkan sistem sosial dan budaya setempat. Sejarah hubungan yang panjang dengan tanah atau wilayah adat tersebut kemudian menimbulkan beberapa jenis klaim hak atas tanah dan sumberdaya alam. Sebuah laporan studi yang dilakukan oleh Inter-American Development Bank, pada 2001,[4] menyimpulkan tiga kategori besar klaim yang muncul dari masyarakat adat: (a) Klaim berdasarkan ancient atau historical title; (b) Klaim berdasarkan immemorial possession dan special relationship with lands; (c) Klaim berdasarkan kompensasi atas past injustice and discrimination. Dalam lingkup masyarakat adat di Indonesia, ketiga jenis klaim ini dapat ditemukan di beberapa daerah. Di Sumatera Utara bagian timur, masyarakat Melayu Sumatera Timur, yang terorganisir dalam Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) melakukan klaim atas tanah bekas perkebunan tembakau Dehli, Sumatera Timur, berdasarkan atas kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan masyarakat Melayu Sumatera Timur, yang diwakili oleh pihak Kesultanan Dehli dan tokoh-tokoh adat setempat. Contoh lain misalnya dapat ditemukan di Flores, di mana masyarakat adat di Kecamatan Wulang Gitang, Flores Timur, NTT, melakukan klaim atas tanah HGU missi Katholik, berdasarkan perjanjian sewa yang dilakukan oleh missi dengan para tokoh adat dari daerah setempat awal abad duapuluh. Jenis klaim yang kedua dapat dijumpai di berbagai daerah seperti tanah-tanah adat masyarakat Dayak yang menjadi wilayah Kontrak Karya PT Kelian Equatorial Mining di Kalimantan; wilayah adat masyarakat Amungme yang menjadi lokasi pertambangan PT. Freeport McMoran di Papua; kawasan perkebunan Kelapa Sawit di Indragiri Hulu, Riau; berbagai konsesi HPH di seantero Indonesia; dan kawasan konservasi. Sedangkan jenis klaim yang ketiga dapat dijumpai misalnya di kawasan perkebunan tebu di Jawa Timur; perjuangan petani dan buruh tani di Jawa umumnya; penggusuran yang terjadi akibat proyek pembangunan fisik di berbagai wilayah di Indonesia, seperti pembangunan PLTA dan pabrik-pabrik industri. Di pihak lain, kita melihat ada sejumlah peraturan perundangan yang mendorong pengakuan dan pengakomodasian hak-hak rakyat, dan khususnya masyarakat adat dan lokal, atas tanah dan sumberdaya alam (de jure). Pertanyaannya, apa yang menyebabkan berbagai peraturan perundangan tersebut tidak dapat mengubah nasib masyarakat dari situasi yang disebutkan di atas? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab hanya dengan memeriksa kembali semua isi peraturan perundangan tersebut seraya mencermati situasi lapangan yang terjadi. Sebabnya adalah bahwa pelaksanaan kebijakan menyangkut tanah dan sumberdaya alam sebagian besar telah melibatkan kekuatan global. Jika dicermati, maka sebagian besar investasi yang ditanam di Indonesia berasal dari modal asing, atau atas dukungan modal asing dalam bentuk pembagian saham. Modal asing di sini dapat berasal dari sebuah perusahaan multinasional, yang sering disebut dengan Multinational Corporation (MNC) atau Transnational Corporation (TNC). Atau juga berasal dari hutang negara kepada Lembaga-Lembaga Pembangunan dan Lembaga Keuangan International, seperti Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sejauh mana hubungan antara investasi modal luar negeri ini dengan persoalan konflik hak penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam? Pertanyaan ini mempunyai implikasi atas relasi sosiologis, ekonomi politik dan politik hukum yang melatarbelakangi sekaligus memainkan peran kunci dalam berbagai bentuk peraturan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan penguasaan atas tanah.

Sistem Penguasaan, Pemilikan, Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah dan Sumberdaya Alam (Land Tenure System) Masyarakat Adat

Masyarakat adat pada umumnya mengenal dengan baik ruang lingkup hidup mereka. Batas tanahnya di mana, darimana diperoleh dan bagaimana caranya, umumnya masih dapat diceriterakan kembali oleh sebagian tokoh adat atau orang-orang tua yang masih hidup. Mereka bahkan dapat menunjukkan tanda dan bukti kepemilikan yang diwariskan secara turun temurun. Bukti kepemilikan tersebut juga sebagiannya diperkuat dengan tradisi lisan yang masih hidup di sebagian besar daerah. Tradisi lisan ini umumnya menyajikan kisah awal munculnya nenek moyang, hubungan dengan kelompok masyarakat lain di sekitarnya dalam kaitan dengan pemilikan tanah dan sumberdaya dalam wilayah tertentu.[5] Hubungan tersebut dapat berupa hubungan sinergis, berupa pertukaran yang damai dalam perolehan tanah dan sumberdaya maupun hubungan yang bersifat konflik fisik atau perang dalam upaya perolehan tanah dan sumberdaya tertentu. Sistem penguasaan dan pemilikan tanah di kalangan masyarakat adat umumnya kompleks. Hal ini berkaitan dengan struktur sosial politik yang ada dan sistem hukum adat yang dianut. Sebagian besar sistem pemilikan tersebut bersifat kolektif. Hak penguasaan umumnya berada dalam tangan seluruh komunitas yang diatur oleh struktur kelembagaan yang ada. Hak kepemilikan dapat didistribusikan kepada setiap kelompok sosial yang ada dalam komunitas, misalnya suku atau marga/clan, hak pengelolaan diberikan kepada anggota komunitas yang disertai dengan hak pemanfaatan. Land tenure system yang kompleks ini merupakan alat kontrol yang efektif sejauh struktur sosial politik dan hukum setempat dapat berfungsi. Struktur sosial menentukan penguasaan, pemilikan dan relasi antar anggota suatu komunitas masyarakat adat dalam hal tanah dan sumberdaya alam di dalamnya. Struktur politik dan hukum menentukan otoritas pengambilan keputusan dalam penyelesaian konflik tenurial dan hubungan dengan pihak luar dalam hal tanah dan sumberdaya alam setempat. Keseluruhan struktur ini, umumnya di Indonesia, menjelaskan suatu kondisi de facto, yaitu penguasaan dan pemilikan tanah secara kolektif oleh suatu komunitas masyarakat adat. Masyarakat Kajang, Dayak Siang Murung, Sorowako, Amungme, Manggarai Flores, Badui, Rejang Lebong, Kuntu, dan berbagai tempat lain menunjukkan kondisi ini. Pengelolaan dan pemanfaatan dapat bersifat individual atau per keluarga, sejauh itu tidak menggerus penguasaan dan pemilikan kolektif. Dengan demikian dapat disaksikan bahwa di komunitas-komunitas masyarakat adat di Indonesia, urusan penguasaan dan pemilikan tanah tidak dapat dilepaskan dari pengertian-pengertian yang bervariasi terminologinya namun memiliki pemahaman substansial yang sama: tanah bersama dan didalamnya terdapat sekumpulan hak dapat dibedakan tapi tak dapat dipisahkan. Di Mentawai ada tanah suku (clan), seperti juga di sebagian Flores dan Papua Barat. Di Kajang, Sulawesi Selatan, atau di Kalimantan umumnya, ada juga tanah komunitas, yang lingkupnya bukan clan, tapi lebih pada sebuah satuan sosial politik yang lebih luas, yang bisa dipadankan dengan kelompok sosial politik, kelompok etnis atau suku-bangsa. Di Melayu, Sumatera Timur, tanah bersama ini lebih merujuk pada kampung-kampung atau persekutuan kampung-kampung, seperti juga di sebagian besar Sumatera, sehingga dikenal pula istilah ‘tanah persekutuan’. Akan menjadi lebih jelas kiranya bila land tenure system ini dihubungkan dengan struktur sosial, politik dan hukum yang telah berkembang sejak lama, sebelum kemudian diporak-porandakan oleh sistem pemerintahan desa yang dipaksakan oleh Pemerintahan Orde Baru. Tanah Mukim, tanah Marga, tanah Kampong, tanah Binua, tanah Negorai, tanah Desa adalah pengertian yang melekat pada system penguasaan dan pemilikan tanah di berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia. Kita akan mengambil satu contoh saja untuk menggambarkan kompleksitas land tenure system dalam komunitas masyarakat adat. Sebelum masuknya sistem pemerintahan desa (desa –cetak miring dari penulis - adalah sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pemerintahan Desa) di Mentawai, masyarakat di sana hidup dalam komunitas berdasarkan suku (clan). Dengan demikian sebuah komunitas adalah sebuah suku. Yang menentukan penguasaan tanah adalah sistem nilai anutan bahwa seluruh tanah suku adalah tanah leluhur yang tidak boleh dipindah-tangankan dengan alasan apa pun. Pemilikan tanah diatur menurut masingmasing keluarga besar anggota suku. Yang mengatur ini adalah rapat atau musyawarah ketua suku dengan para pemuka keluarga besar. Pemilikan oleh masing-masing keluarga besar tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, bahkan kepada keluarga besar lain. Yang dapat dialihkan hanya hak pengelolaan untuk periode tertentu dalam lingkup satu suku. Sementara yang dapat dialihkan kepada pihak luar yang bukan anggota suku hanyalah hak pemanfaatan tanaman dan hasil kebun untuk periode tertentu. Periode tertentu ini misalnya ditemui dalam urusan denda adat antar keluarga dari suku yang berbeda. Denda dapat berupa penyerahan hak pemanfaatan sebagian tanam tumbuh (durian, kelapa dan lain-lain) dalam kebun pihak yang kena denda, sampai urusan denda dapat dianggap lunas. Selama periode ini, pengelolaan kebun tetap berada pada tangan pihak yang kena denda dan tidak dialihkan kepada pihak yang mendenda. Sistem tenurial seperti ini juga dapat ditemui antara lain di Flores dan Pulau Buru di mana di kenal system clan.

Kehancuran sistem ini dimulai ketika masyarakat dipaksa untuk berbaur dan melalui program resettlement, di mana pemukiman dipindah paksa ke daerah-daerah pesisir. Secara khusus, perlu diberi perhatian pada dampak Pemerintahan Desa yang mulai diintroduksi di Mentawai pada sekitar awal 1980-an (sebagian mengatakan 1982, sebagian lain 1984). Dengan hadirnya sistem pemerintahan desa, maka dampak paling serius adalah hilangnya kewenangan suku atas tanah suku, menjadi kaburlah tanah suku karena pembauran masyarakat berbagai suku tidak disertai dengan pengaturan pemilikan tanah suku. Dengan berlalunya waktu, tanah suku semakin tergerus oleh masyarakat desa, karena urusan tanah pun diatur oleh Kepala Desa dan Pemerintah Daerah. Saat ini dapat dengan mudah dijumpai tanah-tanah yang telah dibeli oleh para pendatang melalui anggota suku yang tinggal di desa atau dusun yang berlainan dan terpisah cukup jauh dan tidak lagi merujuk pada kewenangan ketua suku atau musyawarah suku, dan lebih merujuk kepada aturan yang ditetapkan oleh pemerintahan desa Dengan demikian, membicarakan land tenure system sebagai sebuah sistem kolektif yang hidup di tengah berbagai komunitas masyarakat adat di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari persoalan sistem sosial, politik dan hukum yang melahirkan, menjaga dan mengontrol relasi sosial, ekonomi, dan politik yang yang berkaitan dengan tanah dan sumberdaya alam. Hubungan yang kuat antara berbagai sistem ini juga yang menentukan hidup matinya sebuah komunitas masyarakat adat. Putusnya hubungan antara berbagai sistem tersebut berakibat pada kegamangan masyarakat dalam mengidentifikasi diri dan dengan demikian juga gamang dalam relasi sosial politiknya yang berkaitan dengan tanah dan sumberdaya alam. Dan hal tersebut terbukti dengan sangat jelas dalam pelaksanaan UU No. 5 thn 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pemberlakuan UU ini di satu sisi menunjukkan kegagalan negara dalam mengelola berbagai sistem yang menghidupi berbagai kelompok masyarakat adat di Indonesia, di sisi lain menunjukkan kecermatan negara dan berbagai agen paham pembangunan (developmentalism) dalam membaca kekuatan strategis masyarakat sekaligus memutuskan mata-rantai kekuatan tersebut. Berkaitan dengan ini, masuk akallah kita mengajukan sebuah pertanyaan penting lain: Mengapa UU No. 5 thn 1979 ini duapuluh tahun kemudian oleh Negara diakui sebagai sebuah kekeliruan fundamental dan kemudian mendorong adanya Otonomi Daerah melalui UU No. 22 thn 1999!?

Soal Pengakuan Negara

Upaya mencari akar persoalan dari berbagai konflik tenurial di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai pihak secara intensif dalam beberapa dekade belakangan. Studi-studi yang dilakukan oleh KPA adalah salah satu contohnya.[6] Sebuah studi kolaboratif antara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ICRAF dan Forest Peoples Programme pada 2002 – 2003 menemukan juga beberapa persoalan penting dalam hal hubungan antara masyarakat adat dan Negara, khususnya dalam hal tanah dan sumberdaya alam.[7] Temuan-temuan dalam studi ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian: (a) dalam soal pengakuan oleh Negara terhadap keberadaan masyarakat adat ditekankan perlunya pengakuan atas wilayah adat; (b) adanya self-governance bagi komunitas-komunitas masyarakat adat, dalam konteks perluasan Otonomi Daerah menjadi Otonomi Komunitas khususnya berkaitan dengan sistem pemerintahan dan peradilan; (c) Otonomi komunitas ini tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (d) perlunya perluasan otonomi dalam beberapa sektor seperti pendidikan yang perlu memberi ruang yang lebih luas bagi penerapan sistem pendidikan lokal dengan segala muatan kearifan lokalnya.

Di samping itu ada temuan penting lain, yaitu bahwa meskipun sudah jelas rumusan hak-hak apa yang dituntut kepada Negara, namun belum ada kejelasan tentang di mana ruang pengakuan Negara. Bisa dipahami bahwa ini terjadi akibat kacaunya sistem pertanahan khususnya dan sistem tenurial umumnya di Indonesia. Satu contoh tentang kacaunya sistem tenurial di Indonesia dan dampaknya terhadap masyarakat adat misalnya temuan bahwa kebanyakan komunitas yang menjadi tempat studi menekankan pentingnya hak kolektif komunitas atas tanah namun tidak terdapat kejelasan hubungan komunitas dengan pasar tanah yang semakin marak. Dalam hal ini hampir semua komunitas yang terlibat dalam studi menyatakan bahwa perlu didorong dan diperkuat hak masyarakat adat untuk menyatakan menerima atau menolak segala bentuk intervensi, baik itu investasi maupun penerapan kebijakan negara yang berkaitan dengan keberadaan tanah adat dan sumberdaya alam di dalamnya. Hal ini penting sekali karena berkaitan dengan sebuah konsep hak yang sudah cukup populer di dunia, yaitu Free Prior and Informed Consent (FPIC). Dan Negara harus mengambil peran utama dalam mempromosikan dan memperkuat dan melindungi hak FPIC ini.

Dari gambaran yang dihasilkan studi ini, jelas bahwa masyarakat adat mengalami persoalan serius tentang hak-hak mereka atas tanah dan sumberdaya alam. Persoalan tersebut bukan hanya menyangkut pengakuan negara terhadap hak mereka, melainkan juga perlindungan dan penghormatan atas hak tersebut. Bahwa ketiga bidang ini perlu dilakukan secara simultan dan sinergis oleh negara atau, jika tidak, maka akan menimbulkan dampak penghancuran yang tragis terhadap masyarakat adat, dapat dibuktikan melalui studi-studi lain yang membuka borok politik hukum di balik persoalan tenurial di Indonesia.

Dalam kajian hukum yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA),[8] nyatalah bahwa pengakuan yang diberikan oleh Negara terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-hak yang menyertainya adalah pengakuan bersyarat. Pengakuan bersyarat ini dapat dilihat dalam rumusan-rumusan pasal-pasal berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan masyarakat adat. Undang-Undang No. 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, yang lebih populer dengan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) dan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah dua peraturan perundangan yang sekian lama memberlakukan pengakuan bersyarat tersebut dengan tambahan frase sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. Anak kalimat bersyarat seperti ini pula yang terdapat dalam Pasal 18 B ayat 2: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang (pasal 18B ayat 2); dan Pasal 28 I ayat 3 Amendemen Keempat UUD 1945: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Tanpa harus menyebutkan pasal per pasal kandungan peraturan perundangan yang mencantumkan pengakuan bersyarat, dapatlah dikatakan bahwa pengakuan bersyarat tersebut sesungguhnya memiliki substansi pengingkaran terhadap: (i) keberadaan masyarakat adat; dan (ii) hak-hak yang menyertai keberadaan masyarakat adat. Pengingkaran ini terlihat dengan jelas dalam implementasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan (baca: eksploitasi) sumberdaya alam. Pengingkaran atas keberadaan, misalnya dapat dilihat dari penghapusan sistem pemerintahan “asli”, seperti pemerintahan binua, lembang, mukim, marga, dan lain-lain dengan pemberlakuan pemerintahan desa. Sementara pengingkaran atas hak dapat disaksikan dalam implementasi kebijakan Negara tentang eksploitasi sumberdaya alam dalam wilayah adat, baik itu berupa pertambangan, HPH, HTI, dan berbagai bentuk kebijakan konservasi. Tidak itu saja, penghapusan berbagai sistem peradilan adat (dan lokal) dengan pemberlakuan unifikasi sistem peradilan melalui UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasan Kehakiman, telah menjadi tonggak penghapusan sistem peradilan adat. Sementara mekanisme penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan adat adalah salah satu tiang utama keberadaan komunitas masyarakat adat. Pemberlakuan Otonomi Daerah melalui UU No. 22/1999 tanpa mengubah peraturan perundangan lain, termasuk UU No. 14/1970, mencerminkan pemberian otonomi secara setengah hati oleh Negara kepada masyarakat adat. Pengakuan bersyarat inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan terhadap Otonomi Daerah yang sedang berlaku saat ini sebagai Otonomi setengah hati, dan menjadi akar dari berbagai konflik tenurial yang marak terjadi setelah dekade 70-an sebagaimana tercermin dalam data KPA di atas.

Otonomi Daerah diberlakukan setelah duapuluh tahun berbagai system pemerintahan masyarakat adat (dan lokal) mengalami kehancuran yang sangat mendasar. Pertanyaannya: Dengan mengakui bahwa UU No. 5/1979 sebagai sebuah kekeliruan fundamental, apakah Negara juga mengakui bahwa seluruh upaya pemulihannya menjadi tanggungjawab Negara? Melihat kecenderungan Negara dalam berbagai konflik pasca diberlakukannya UU Otonomi Daerah, bisa dikatakan dengan tegas bahwa Negara belum melaksanakan tanggungjawab itu. Konflik tenurial antara masyarakat adat dengan berbagai perusahaan pertambangan, perkebunan dan HPH yang terjadi di berbagai tempat menunjukkan bahwa Negara sama sekali belum mengambil tanggungjawab dalam upaya penyelesaian konflik secara mendasar, dengan melakukan perubahan pendekatan di tingkat lapangan, maupun mengubah substansi peraturan perundangan yang terkait dengan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Sekedar menyebut beberapa contoh, konflik di Halmahera, antara masyarakat adat setempat dengan PT. Nusa Halmahera Mineral; konflik antara masyarakat adat dan lokal di Pulau Sebuku dengan PT. Bahari Cakrawala Sebuku; konflik berkepanjangan antara masyarakat adat Sorowako dengan PT. Inco, adalah contoh konflik di mana Negara tidak mengambil peran sebagai pelindung warga negaranya – dalam hal ini masyarakat adat setempat – tapi lebih berpihak kepada berbagai investasi besar tersebut.

Upaya pemulihan yang dilakukan oleh masyarakat adat, juga tidak mendapat dukungan dari Negara. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kontroversi tentang Raperda Hak Ulayat, yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, yang isinya menyatakan bahwa tidak ada masyarakat adat dan hak ulayat di Kabupaten Pasir. Sementara itu dapat disaksikan bagaimana upaya masyarakat setempat untuk merekonstruksi sistem pemerintahan masyarakat adat yang telah hancur. Upaya-upaya masyarakat adat ini dapat disaksikan di Kecamatan Long Ikis, dan sekitarnya. Komunitas-komunitas di Long Gelang, Mului, Rantau Layung, adalah beberapa komunitas masyarakat adat yang sedang melakukan upaya tersebut. Di tengah upaya yang kian giat, Pemda Pasir justru mengeluarkan Raperda kontroversial tersebut. Raperda ini secara prinsipil mencerminkan kekacauan persepsi tentang pengakuan bersyarat yang disebutkan di atas. Di satu sisi, pengakuan bersyarat tersebut secara substansial mengakui keberadaan masyarakat adat, namun secara procedural membutuhkan pembuktian, yang kewenangan pembuktian tidak terletak pada tangan masyarakat adat (self-identification), namun justru diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk membentuk Tim Independen untuk melakukan studi pembuktian tersebut. Prosedur pembuktian ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Tindakan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir yang mengeluarkan Raperda kontroversial ini tidak dapat dilepaskan dari ekonomi politik yang dijalankan Negara dengan membuat kabur sistem peraturan perundangan tentang masyarakat adat.

Tindakan Negara dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 tersebut tidak lebih dari sebuah upaya untuk meredam menguatnya tuntutan atas pengakuan adanya komunitas masyarakat adat dan tanah adat. Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa ada upaya politik hukum yang tidak transparan yang dilakukan oleh Negara, sebagai strategi untuk memenangkan ekonomi politik di baliknya. Pertanyaannya, seperti apa ekonomi politik di baliknya tersebut?

Peran Transnational Institutions dalam Penerapan Kebijakan Negara tentang Tenurial Security di Indonesia

Sebuah potret yang sangat terkenal dalam sejarah krisis ekonomi di Indonesia adalah potret Presiden (waktu itu, 1998) Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dan International Monetary Fund (IMF), sementara Direktur IMF (waktu itu) Michel Camdesus berdiri bersedakap dengan posisi miring memandang Soeharto yang membungkuk untuk menggoreskan tanda tangannya. Sebuah potret yang menjadi simbol keterpurukan Indonesia dalam cengkeraman kebijakan berbagai kekuatan modal global. Sejak itu berbagai gejolak mulai terjadi. Deregulasi perbankan, pengurangan subsidi di berbagai bidang, privatisasi berbagai sektor, maraknya upaya mendorong pasar tanah melalui Land Administration Project adalah gelombang krisis ekonomi makro yang melanda Indonesia dalam waktu yang sangat singkat. IMF hanyalah salah satu dari berbagai lembaga internasional lintas negara (Transnational Institutions) yang memiliki kekuasaan hampir tak terbatas dalam mengendalikan perekonomian negara-negara berkembang. Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang mendapatkan banyak hutang dari lembaga-lembaga internasional lintas negara. Lembaga-lembaga ini dapat dikategorikan secara sangat longgar ke dalam dua kelompok besar, yaitu (i) lembaga-lembaga yang memberikan perhatian khusus kepada masalah pengakuan atas keberadaan dan hak-hak masyarakat adat; dan (ii) lembaga-lembaga yang secara khusus memberikan perhatian kepada pengembangan modal. Umumnya semua lembaga ini berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bagaimana kedudukan lembaga-lembaga ini dalam sistem PBB dapat dilihat dalam bagan berikut ini. Nampak bahwa badan-badan di bawah Ecosoc termasuk Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) yang menjadi induk dari berbagai organisasi PBB yang bergerak dalam issu masyarakat adat; dan juga Komisi Perusahaan Transnational, yang bergerak dalam issu investasi dan pengembangan kebijakan pembangunan internasional. Di samping itu masih terdapat badan-badan PBB lain yang merupakan organ-organ khusus PBB dan program-program khusus yang umumnya sudah cukup populer, seperti ILO, UNESCO, WHO, FAO dan lain-lain.

Secara umum, terdapat berbagai peraturan internasional, biasa dikenal dengan sistem hukum internasional, yang mengatur tentang hak asasi manusia (HAM) dan pembangunan. Di satu sisi kita menyaksikan banyak peraturan internasional yang mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Di sisi lain kita juga menyaksikan berbagai peraturan internasional yang mendorong pembangunan di seluruh dunia, dan kelompok peraturan ini biasanya lebih mengikat negara-negara berkembang akibat adanya bentuk perjanjian yang mengikat dalam hal dana pembangunan, yang umumnya bersifat hutang.

Dari kelompok pertama dapat disebutkan sejumlah peraturan internasional dari Lembaga-lembaga internasional yang mengakui hak FPIC masyarakat adat. Patut diingat bahwa hak FPIC ini hanyalah salah satu dari sekumpulan hak yang dimiliki oleh masyarakat adat. Meskipun pengakuan te rsebut, dalam beberapa lembaga, bukan dalam pengertian pengakuan terhadap seluruh hak-hak dan keberadaan masyarakat adat, melainkan lebih berupa pengaturan tentang perlunya mencantumkan hak FPIC masyarakat adat dalam provisi-provisi kebijakan dasarnya. Sekurang-kurangnya, secara parsial atau secara umum disebutkan pentingnya mempertimbangkan hak FPIC ini dalam pelaksanaan kebijakan lembaga-lembaga tersebut. Misalnya, Inter-American Development Bank, mencantumkan hak FPIC dalam ‘Strategies and Procedures on Socio-Cultural Issues as Related to the Environment’ dan juga dalam kebijakannya tentang involuntary resettlement, tapi tidak dalam konteks pengakuan hak secara mendasar bagi masyarakat adat. Berikut ini adalah daftar sejumlah lembaga dan badan internasional yang mengedepankan hak FPIC tersebut dalam kebijakannya.[9]

  1. UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination
  2. UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights
  3. UN Sub-Commission on Promotion and Protection of Human Rights
  4. UN Permanent Forum on Indigenous Issues
  5. UN Working Group on Indigenous Populations
  6. UN Development Programme
  7. UN Centre for Transnational Corporations
  8. UN Commission on Human Rights, Special Rapporteur on situation of the rights and undamental freedoms of indigenous people
  9. Convention on Biological Diversity
  10. Convention to Combat Desertification, particularly in Africa
  11. Inter-American Commission on Human Rights
  12. Inter-American Development Bank
  13. Andean Community
  14. European Council of Ministers
  15. European Commission
  16. Organization of African Unity
  17. World Commission on Dams
  18. World Bank Extractive Industries Review
  19. IUCN Vth World Parks Congress
  20. World Wildlife Fund
  21. International Petroleum Industry Environmental Conservation Association and the international Association of Oil & Gas Producers

Umumnya berbagai lembaga dan badan PBB dari nomor 1. sampai dengan nomor 10. di atas mencantumkan secara tegas hak FPIC masyarakat adat dalam hubungan dengan program pembangunan dalam wilayah adat mereka. Pada 2001, misalnya, UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights, menyatakan dalam laporannya bahwa “with regret that the traditional lands of indigenous peoples have been reduced or occupied, without their consent(cetak tebal dari penulis), by timber, mining and oil companies, at the expense of the exercise of their culture and the equilibrium of the ecosystem.” Ini sangat penting untuk dijadikan catatan. Pertama, bahwa pengambil-alihan secara paksa tanah-tanah masyarakat adat telah menimbulkan persoalan HAM yang serius disertai dampak pemiskinan struktural yang tragis bagi jutaan masyarakat adat di Indonesia. Kedua, soal kerugian ekologis yang ditimbulkannya. Menurut hasil perhitungan yang dilakukan oleh Greenomics,[10] sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berbasis di Jakarta, dalam kaitan dengan dikeluarkannya Perpu No. 1 tahun 2004, yang mengatur tentang perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kontribusi sektor pertambangan sebenarnya tidak sebanding dengan nilai kerugian ekologis yang harus dibayar – belum termasuk kerugian sosial. Hasil studi yang dilakukan oleh lembaga ini menunjukkan bahwa 25 wilayah Kabupaten/Kota yang akan dijadikan lokasi kegiatan pertambangan akan kehilangan nilai modal ekologi, yang bila dikonversikan ke dalam nilai ekonomi uang, sebesar Rp. 70 triliun per tahun, dengan pemberlakuan Perpu tersebut. Nilai ini pun belum memasukkan basis perhitungan yang menyeluruh, dan baru memperhitungkan modal ekologis dari kawasan hutan lindung yang luasnya tidak lebih dari satu juta hektar, persisnya adalah 925.000 hektar. Berapa besar nilai Produk Domestik Bruto yang diperoleh ke-25 Kabupaten/Kota tersebut? Tidak lebih dari Rp. 42 triliun per tahun. Artinya ada kerugian sebesar Rp. 38 triliun per tahun. Bila dikalikan dengan lamanya beroperasi perusahaan tambang di dalam kawasan 25 Kabupaten/Kota, akan menghasilkan sebuah akumulasi kerugian yang tak kepalang tanggung besarnya.

Laporan UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights juga menegaskan perlunya menjamin partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang membawa dampak bagi kehidupan mereka. Dan menegaskan kepada Negara anggotanya (State party) untuk to consult and seek the consent of the indigenous peoples concerned. Convention on Biological Diversity (CBD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menyebutkan secara tegas pula tentang hak FPIC masyarakat adat. Pasal 8 j dan 10 c Konvensi ini telah menjadi bahan perdebatan dalam berbagai pertemuan CBD yang dikenal sebagai Confference of the Parties (COP) yang belum lama berselang berlangsung yang ke-7 kalinya di Kuala Lumpur, masih dengan salah satu agenda utamanya membahas kedua pasal tersebut.

Di samping itu juga terdapat badan-badan multilateral yang memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di dunia. International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh Internasional, adalah salah satu lembaga yang paling banyak menjadi rujukan dalam perjuangan masyarakat adat di seluruh dunia karena mengedepankan hak-hak dan keberadaan masyarakat adat. Meskipun demikian ada hal yang harus dicermati dalam hal Konvensi ILO 169. Standar-dstandard hak yang ditetapkan dalam konvensi ini berupa patokan-patokan atau pedoman-pedoman umum. Dengan demikian, bilamana sistem perundangan-undangan sebuah negara telah secara lebih detail mengatur tentang hak-hak masyarakat adat daripada yang diatur dalam Konvensi ILO 169, menjadi sebuah pertanyaan apa relevansi meratifikasi Konvensi ini.

Lembaga Keuangan Internasional

Lembaga keuangan internasional (International Financial Institutions, IFI) umumnya dikenal dua yang utama, yaitu Bank Dunia dan IMF. Bank Dunia atau lebih tepat Kelompok Bank Dunia, yang terdiri dari Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA), Perusahaan Keuangan Internasional (IFC), Badan Penjamin Penanaman Modal Multilateral (MIGA), dan Badan Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (ICSID). Namun dalam tulisan ini, yang dimaksudkan dengan “Bank Dunia” terutama adalah tiga badan yang pertama, yaitu IBRD, IDA dan IFC. Secara historis ketiga badan ini pula yang paling besar peranannya sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua dan terbentuknya PBB. IBRD dibentuk 1945 untuk memfasilitasi pemulihan dan pembangunan di Negara-Negara anggota; IFC dibentuk 1956 untuk membiayai perusahaan-perusahaan swasta yang melakukan investasi dalam projek-projek pembangunan; IDA dibentuk 1960 dengan tujuan memberikan pinjaman (baca: hutang) kepada negara-negara miskin.[11]

Yang perlu dipahami tentang Bank Dunia adalah bahwa meskipun ia merupakan salah satu specialized agencies dari PBB, namun ia tetap sebuah bank dalam arti sesungguhnya, yaitu berorientasi mencari keuntungan sebesar-besarnya dan melipatgandakan modalnya dengan biaya sesedikit mungkin. Perilakunya sebagai seubah bank, tercermin dari sistem keanggotaan dan pemilikan sahamnya. Anggota Bank Dunia adalah anggota PBB yang sekaligus menjadi pemegang saham Bank Dunia. Besarnya saham masing-masing anggota ditentukan oleh besarnya dana yang diberikan oleh sebuah negara untuk menjadi modal Bank Dunia. Dan dengan demikian sistem pengambilan keputusan dalam Bank ini bukan berdasarkan sistem satu anggota satu suara, melainkan berdasarkan sistem satu dollar satu suara. Sehingga negara yang paling besar sahamnya di Bank sekaligus merupakan negara yang paling banyak suaranya dalam menentukan arah kebijakan Bank. Pelipat-gandaan modal dilakukan melalui investasi dan pemberian pinjaman kepada negara-negara anggota dengan menerapkan sistem bunga bagi setiap pinjaman. Panduan dalam pelaksanaan kebijakan Bank Dunia umumnya dicantumkan dalam sebuah dokumen yang dikenal dengan Operational Directive (OD). OD 4.20 yang diadopsi pada September 1991 mendapat banyak kritikan serius berkaitan dengan banyaknya pelanggaran HAM serius yang terjadi selama pelaksanaan projek-projek yang didanai Bank Dunia. Oleh karena itu Bank kemudian melakukan inisiatif untuk mengganti OD 4.20 dengan sebuah panduan yang baru, yang dikenal dengan Operational rocedure/Bank Procedure (OP/BP) 4.10. Sampai saat ini belum ada keputusan final dari ank tentang pengadopsian OP/BP 4.10 sebagai pengganti OD 4.20. Dengan demikian asih tetap berupa draft. Bagaimana tanggapan berbagai organisasi masyarakat adat di dunia terhadap draft OP/BP 4.10 bisa tercermin dari pernyataan yang dikeluarkan oleh asyarakat adat dalam sebuah roundtable meeting di Washington DC, 18 Oktober 2002:

  • “We have so far been denied the opportunity to significantly shape the outcome of the policy revision and that the Bank has not addressed our principal concerns and our proposals on how to improve the existing policy “;
  • “We as indigenous peoples do not feel empowered by Draft DRAFTOP/BP 4.10 because our rights are not recognized and for this reason we reject this draft revised policy because it does not respect our rights guaranteed under international law “.

Dua paragraf pernyataan ini dapat menjelaskan hubungan antara masyarakat adat dengan Bank sejauh ini. Pertama dikatakan bahwa Bank sama sekali tidak menegaskan persoalan mendasar dari masyarakat adat – berkaitan dengan keberadaan dan hak atas tanah adat, dan kedua menolak draft revisi kebijakan Bank karena tidak menghormati hak-hak masyarakat adat yang dijamin dalam hukum internasional. Sebuah kajian resmi yang dilakukan oleh Bank Dunia untuk menilai sejauh mana peranan Bank Dunia dalam industri pertambangan dan dampaknya terhadap masyarakat setempat adalah melalui sebuah upaya yang dikenal dengan World Bank Extractive Industries Review. Bank menunjuk Dr. Emil Salim untuk melakukan pengkajian dan hasilnya kemudian diserahkan kepada Presiden Bank Dunia, James Wolfenson. Laporan yang diberi judul: “Laporan Akhir Kajian Industri Pertambangan: Mencari Keseimbangan yang Lebih Baik” mengandung beberapa rekomendasi penting bagi Bank dalam menjalankan kebijakannya ke depan. Tanggapan dari pihak Manajemen Bank Dunia sungguh mengejutkan karena intinya adalah Menolak Rekomendasi Kajian. Yang mengherankan di sini adalah bahwa inisiatif kajian ini merupakan datang dari Bank Dunia, sehingga menjadi aneh bahwa Bank menolak sendiri hasil kajian yang diinisianya sendiri. Hal-hal yang ditolak oleh pihak Manajemen Bank Dunia antara lain adalah:

  • Memberikan informasi dan mendapatkan persetujuan atau penolakan dari masyarakat adat dan lokal (FPIC) yang terkena dampak proyek pertambangan sebagai prasyarat pembiayaan;
  • Memastikan hak-hak Masyarakat Adat atas tanah terjamin sebagai syarat pembiayaan proyek;
  • Memastikan keuntungan proyek yang dibayai Bank Dunia diterima dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang terkena dampak;
  • Jaminan untuk kebebasan berserikat di dalam proyek-proyek yang dibiayai Bank Dunia sebagai pemenuhan dan perlindungan terhadap HAM dan Hak tenaga kerja/buruh;
  • Memastikan bahwa ada struktur tata pemerintahan yang baik sebelum pendanaan proyek dan pelaksanaannya;
  • Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati melalui pembentukan daerah larangan untuk habitat-habitat yang kritis yang diakui secara internasional;
  • Jaminan bahwa pembuangan limbah tambang di dasar laut tidak diterapkan pada proyek-proyek tambang yang dibiayai Bank Dunia;

Manajemen Bank Dunia secara tegas dan gamblang menyebutkan penolakannya untuk memberikan kepada Masyarakat Lokal atau Masyarakat Adat apa yang disebut “Hak Veto” terhadap investasi yang dibiayai Bank Dunia meskipun investasi tersebut akan menimbulkan banyak dampak buruk bagi masyarakat adat dan lokal. Selain Bank Dunia, lembaga keuangan internasional lain yang sudah cukup dikenal di Indonesia adalah IMF. Lembaga ini terutama menjadi terkenal melalui pemaksaan deregulasi perbankan, pengurangan subsidi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak serta promosi dan pemaksaan terhadap Negara untuk menjalankan Structural Adjustment Program (SAP). Melalui SAP pemerintah dipaksa untuk melakukan deregulasi kebijakan. Mengapa hal ini harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia? Jawaban paling mudah adalah bahwa negara kita memiliki hutang yang besar kepada lembaga-lembaga keuangan internasional, sehingga hampir tidak memiliki posisi tawar dalam membuat atau menyepakati sebuah perjanjian dengan lembaga-lembaga tersebut. Dengan demikian, untuk mendapatkan hutang lebih lanjut, pemerintah Indonesia mau tak mau harus menyetujui untuk menjalankan klausul-klausul yang ditetapkan dalam perjanjian. Antara lain adalah melaksanakan SAP dengan antara lain melakukan deregulasi kebijakan. Implikasi paling mutakhir dari deregulasi kebijakan adalah dikeluarkannya Perpu No. 1 thn 2004. Dengan adanya Perpu ini, maka berbagai perusahaan pertambangan dapat meneruskan projek pertambangannya dalam kawasan lindung tanpa haru terbentur pada UU Kehutanan No. 41 thn 1999. Jelas nampak di sini bahwa peraturan perundangan nasional pun dikendalikan oleh kepentingan ekonomi dan bisnis berbagai lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan-perusahaan multinasional/transnasional. Bentuk lain pengabaian terhadap hak masyarakat adat juga dapat dijumpai dalam peraturan internasional tentang hak pemilikan intelektual masyarakat adat (TRIPs).

Berbagai proyek yang menggunakan kekayaan intelektual masyarakat adat sama sekali tidak memberikan keuntungan dan manfaat apa pun bagi masyarakat adat yang menjadi sumber pengetahuan tersebut. Kebanyakan projek pengembangan dan komersialisasi kekayaan intelektual masyarakat adat di danai juga oleh Bank Dunia. Nilai ekonomi dari penjualan kekayaan intelektual ini bernilai miliaran dollar per tahun, tanpa dapat dinikmati oleh masyarakat adat. Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh IWGIA, Denmark,menunjukkan bahwa pada 1985, di negara-negara maju, nilai penjualan obat yang berasal dari tanaman saja, yang sebagian besar diambil dari kawasan hutan tropis dalam ruang lingkup wilayah adat berbagai komunitas, mencapai 43 miliar dollar.

Dalam sebuah tinjauan komparatif yang dilakukan oleh Forest Peoples Programme (FPP) terhadap berbagai kebijakan lembaga donor dan agen-agen pembangunan internasional ditunjukkan bahwa hanya sejumlah kecil saja lembaga-lembaga ini yang memiliki kebijakan khusus yang mengedepankan persoalan kebutuhan dan hak-hak masyarakat adat. Secara garis besar, temuan tinjauan komparatif tersebut digambarkan sebagai berikut:

Hanya 8 agen pembangunan internasional yang memiliki kebijakan resmi tentang masyarakat adat: EU, UNDP, Bank Dunia, ADB, Danida, DGISNetherlands, BMZ-Jerman, AECI-Spanyol. Hanya 4 dari 8 tersebut yang memiliki kebijakan yang punya kekuatan hukum mengikat: Bank Dunia, ADB, Danida dan BMZ. Meskipun Bank Dunia merupakan ujung tombak dalam menetapkan aturan-aturan standard tentang masyarakat adat dan pembangunan dalam era 80-an, saat ini ia tidak lagi menjadi teladan dalam bidang ini. Kebijakan-kebijakannya telah ketinggalan jaman dibandingkan dengan kemajuan dalam perkembangan penetapan standard hak masyarakat adat dalam berbagai peraturan hukum internasiona. Di samping Bank Dunia lembaga lain yang juga sudah ketinggalan jaman dalam penetapan kebijakan tentang masyarakat adat adalah ADB, DGIS dan AECI.

Semua data ini menunjukkan betapa jauhnya kepincangan yang terjadi antara pelaksanaan peraturan hukum yang mendorong dan membela kepentingan ekonomi dan bisnis di satu pihak dengan pelaksanaan peraturan yang mendorong pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap keberadaan da hak-hak masyarakat adat di berbagai belahan dunia.

Tiga Arena Bermain: Pluralisme Hukum?

Melihat gambaran di atas, dapat dikatakan secara ringkas bahwa dalam persoalan tenure security, terdapat tiga “arena bermain”, yaitu tingkat lokal dengan segala system hukumnya yang berkaitan dan mengatur tentang land tenure system setempat ; arena nasional yang mengatur tentang sebuah sistem tenuria tingkat nasional ; dan arena internasional atau global di mana terdapat berbagai kekuatan transnasional memainkan peranan penting dalam mengendalikan arah tenurial system di berbagai negara-negara berkembang khusunya. Dengan demikian tidak saja terjadi apa yang disebut sebagai contested resources melainkan lebih jauh dari itu telah terjadi contested paradigm. Persoalan di tiga arena bermain tersebut tidak lagi melulu menyangkut masalah bagaimana merebut sebuah sumberdaya melalui upaya-upaya politik hukum dan ekonomi politik, melainkan juga menyangkut persoalan saling merebut hegemoni nilai anutan antara pihak yang satu dengan lainnya, sementara komunitas-komunitas masyarakat adat pun berupaya sekuat tenaga mempertahankan nilai-nilai anutan yang menjadi sumber inspirasi keberadaan mereka. Sistem nilai adalah jantung dari persoalan contested paradigm. Di mulai dengan pengambil-alihan tanah secara paksa dalam masa kolonial, disusul dengan penaklukan melalui berbagai peraturan perundangan nasional, dan akhirnya dijerumuskan oleh Negara ke dalam kancah pergulatan internasional dengan aturan main hukum internasional berbagai komunitas masyarakat adat diuji dalam arti paling mendasar untuk mempertahankan sistem nilai bersama sebagai sebuah masyarakat dan bukan sekedar kumpulan individu sebagaimana dianut oleh paham pasar global. Cara pandang terhadap alam sebagai sumber budaya dan sumber kehidupan dalam segala aspeknya adalah nilai lain yang diuji dalam menghadapi ekonomi pasar dengan acuan utama adalah nilai material. Dan di tengah pertarungan dua cara pandang terdapap dunia dan manusia tersebut, Negara, dipertaruhkan keberadaannya : apakah ia mampu menjadi representasi rakyatnya, termasuk berbagai komunitas masyarakat adat, ataukah ia justru melulu menjadi agen bagi berbagai kekuatan global yang menghendaki sistem ekonomi pasar mendominasi dunia dengan seluruh paradigma dasarnya. Jika Negara kemudian gagal menjadi representasi politik dari rakyatnya sendiri, akan menjadi benarlah ramalan bahwa suatu saat negara akan berakhir dan dunia akan dikuasai oleh imperium-imperium kekuatan ekonomi dan bisnis global. Di situ akan menjadi ajang ujian terakhir bagi kehidupan berbagai kelompok masyarakat adat di dunia.

Jakarta 6 Oktober 2004.


[1] Makalah untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.

[2] Transnational Institutions di sini dipadankan dengan lembaga-lembaga, badan-badan dan agenagen pembangunan dan keuangan internasional yang memiliki struktur, mandat dan wilayah kerja lintas negara. Denga demikian cakupannya sangat luas, mulai dari badan-badan PBB sampai lembaga-lembaga donor dan perusahaan-perusahaan multinasional.

[3] Berdasarkan data dari Divisi Database KPA tentang sengketa agraria di Indonesia.

[4] Land Titling and Indigenous Peoples; Roger Plant dan Soren Hvalkov; Inter-American Development Bank, Sustainable Development Department Technical Papers Series.

[5] Lihat misalnya Paul Arndt, SVD, Hubungan Kemasyarakat di Wilayah Sikka (Flores Tengah Bagian Timur); Seri Etnologi Candraditya, No. 3, khususnya hal. 156 – 186.

[6] Lihat misalnya Dianto Bachriadi, Merana Di Tengah Kelimpahan, Elsam, Cetakan Pertama, April 1998, Bab 4. Pertambangan Freeport di Tanah Amungme dan Kamoro; dan Bab 5. Pertambangan Emas Kelian di Tanah Orang Dayak.

[7] Lihat dalam” Satu yang Kami Tuntut: Pengakuan”; AMAN, ICRAF, FPP, 2003

[8] Lihat misalnya makalah Rikardo Simarmata, Pilihan Hukum Pengurusan Hutan oleh Masyarakat Adat, tulisan yang disiapkan untuk menjadi Kertas Posisi Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), dipresentasikan dalam Seminar “Pengelolaan Hutan Adat” diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Riau, di Pekanbaru, Riau pada 20 -22 Agustus 2004.

[9] Lihat Executive Summary dari Indigenous Peoples Development Standard yang dipublikasikan oleh FPP dalam jaringan internet.

[10] Dikutib dari saduran yang dibuat oleh Redaksi Gaung AMAn untuk Gaung AMAN edisi X, Agustus 2004.

[11] Lihat misalnya Daniel D. Bradlow Bank Dunia, IMF dan Hak Azasi Manusia, edisi terjemahan Indonesia diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Cetakan Pertama, Mei 1999; atau Human Rights and Indigenous Peoples, A Handbook on the UN System; Florencia Roulet, IWGIA Document No. 92, Copenhagen 1999.

Tidak ada komentar: