Minggu, 17 Agustus 2008

Kaum Adat Masih Tersingkirkan

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0608/14/ipt02.html


JAKARTA – Kehidupan masyarakat adat hingga kini masih tersingkirkan. Hingga dekade kedua pascakonvensi negara-negara dunia mengenai masyarakat adat internasional, kehidupan mereka tetap laksana bagian lain dari komunitas modern. Tak memperhatikan mereka padahal sama saja dengan membunuh karakter bangsa sendiri.


“Ruang ada karena manusia. Kehidupan orang adat seperti itu juga. Berarti kita juga harus menghormati pencipta ruang tersebut, bukan mengusirnya atau menolaknya karena ada penguasa yang ingin memiliki ruang tersebut,” urai Emil Kleden, Sekretaris Umum LSM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), pada hari Masyarakat Adat Internasional yang jatuh pada 9 Agustus.


Konsep itu juga yang seharusnya dipegang teguh bangsa ini, saat turut meratifikasi persetujuan internasional mengenai masyarakat adat tersebut tahun 1982 lalu. Bukan seperti saat ini, kebanyakan menjadi kebalikannya.


“Masyarakat adat sekarang banyak yang terusir dari tanah-tanah leluhurnya, tak boleh lagi memasuki hutan budaya mereka, tak boleh lagi mengolah lahan milik adat mereka yang sudah turun-temurun dilakukan,” tambah Emil.


Hal itu menurutnya terbukti dimana-mana. Di tempat tinggalnya, di Desa Way Baun, Larantuka, Flores Timur, orang-orang adat kini banyak yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia. Sebabnya karena banyak di antara mereka dilarang mengolah tanah yang berkemiringan curam. “Mana ada tanah di Flores yang tak miring?,” urai pria ini lagi.


Kesalahan pemahaman dan kausalitas kebijakan seperti ini yang kini melanda hampir banyak masyarakat adat nusantara. Rakyat Rinondoran, Sulawesi Utara, pantas kebat-kebit, karena kesamaan kebijakan pembuangan tailing, seperti di Buyat pada daerah mereka.


Pelanggaran
Pemerintah juga sepertinya hanya bermain mata, saat membicarakan masalah ini. Kebijakan para petinggi kebanyakan bersifat slogan. Klausul internasional yang pernah disepakati, juga mungkin tak ada yang pernah diperhatikan, hingga tak ada yang dijalankan.
Salah satu contohnya adalah upaya relokasi terhadap masyarakat Lebak Sibedug di selatan Gunung Halimun. Dalam article 10 di kesepakatan konvensi internasional mengenai masyarakat adat, yang disetujui akhir Juni lalu, jelas menyatakan bahwa masyarakat adat tak boleh dipindahkan dari daerah teritori mereka. Tak boleh ada relokasi tanpa persetujuan dini, atas kehendak bebas atau dengan persetujuan awal mengenai relokasi. Selain itu bila saja tetap terjadi relokasi, harus melalui proses kesepakatan, dan pelunasan biaya kompensasi.
Melihat itu saja, jelas terjadi pelanggaran di Lebak Sibedug. Unsur free, prior, dan informed, yang kini diperjuangkan oleh aktivis adat jelas tak terbukti di negeri ini.


“Ini yang sekarang harus dipertimbangkan pemerintah. Kita pernah mengakui konvensi internasional mengenai keberadaan masyarakat adat. Namun keberadaan mereka sekarang justru makin menghilang,” ucap Ruka Simolingki, peneliti masalah adat di Indonesia. (sulung prasetyo)

Catatan Penting Gerakan Masyarakat Adat di Tingkat Internasional

  • 1920 : Deskaheh, Juru Bicara Konfederasi “Council of the Iroquiois”, berbicara mengenai masyarakat adat di Liga Bangsa-Bangsa
  • 1953 : Laporan pertama ILO tentang Masyarakat Adat. Laporan itu diberi judul “Indigenous Peoples: Living & Working Con-ditions of Aboriginal Populations in Independent Countries.”
  • 1957 : Konvensi ILO pertama membahas masyarakat adat
  • 1960 : Tuntutan masyarakat adat untuk mempertahankan keberadaannya mulai mendapat perhatian
  • 1970 : Serial Konferensi internasional
  • 1971 : Resolusi ECOSOC mengenai masalah diskriminasi yang dialami masyarakat adat
  • 1977 : Utusan-utusan masyarakat adat mulai hadir di pertemuan-pertemuan PBB
  • 1982 : WGIP ( Ecosoc Resolution 34/82) dan mulai drafting Deklarasi PBB tentang hak2 Masyarakat adat di WGIP.
  • 1985 : Kucuran dana PBB mulai mencakup pengembangan masyarakat adat
  • 1989 : Konvensi ILO berikutnya yang tetap membahas masyarakat adat
  • 1993 : Tahun Internasional untuk Masyarakat Adat
  • 1995-2004 : Maklumat dekade pertama secara internasional tentang masyarakat adat
  • 1995-2004 : Pembentukan kelompok kerja untuk menyusun draft Deklarasi tentang masyarakat adat
  • 2000 : Pembentukan UNPF dan mulai bersidang tahun 2002.
  • 2001 : Penunjukan Badan khusus PBB mengenai situasi hak asasi manusia dan kebebasan dasar dari masyarkat adat
  • 2005-2014 : Dekade kedua perhatian PBB terhadap masyarakat ada

Tidak ada komentar: