Selasa, 19 Agustus 2008

Masyarakat Adat dan Hak Cipta

“ Wah maaf bu, sekarang udah gak bisa lagi ‘nginstal’ program dari cd bajakan karena pemerintah sudah memberlakukan UU No 19/2002. Kalau misalnya kita instal, perusahaan yang akan kena” (Petikan percakapan dengan perusahaan service komputer)

Pendahuluan

Pemberlakukan UU No 19/2002 tentang Hak Cipta, membuat banyak pihak harus berhati-hati apabila menjual atau menggunakan hasil cipta orang lain tanpa ijin dari si pembuat. Apabila diketahui sudah menjual atau menggunakan, tanpa ampun hotel prodeo yang dihadapi. Pemberlakuan aturan tersebut membuat para pedagang bajakan atau pun mal-mal yang menampung mereka harus berpikir dua kali karena sanksi yang diberlakukan, katanya tidak main-main.

Pemberlakuan aturan tersebut menggelitik penulis untuk menelaah dari sudut pandang masyarakat adat yang juga (seharusnya dianggap) mempunyai hak cipta atas pengetahuan, ramuan, corak tenun, dll. Hasil cipta mereka bisa kita lihat dalam apa yang disebut oleh Antropolog dengan wujud-wujud kebudayaan mereka. Lalu apakah masyarakat adat bisa mengajukankan tuntutan apabila hasil ciptanya tersebut digunakan tanpa ijin oleh orang lain? Bagaimana aturan hukum mengenai hak cipta yang dimiliki oleh masyarakat adat? Apakah mereka bisa mendaftarkan hasil ciptaannya tersebut kepada badan yang mengurusi hak cipta?

Tulisan Suwantin Oemar, wartawan Bisnis Indonesia, mengenai pendaftaran merk kopi Toraja oleh pengusaha Amerika dan Jepang menunjukkan bahwa kopi yang selama ini diusahakan khususnya oleh masyarakat Toraja “diambil alih” oleh pengusaha. Kopi Toraja tumbuh pada dataran dengan ketinggian 300 meter sampai 2.889 meter dan berada di banyak kabupaten di Sulawesi Selatan seperti Janeponto, Bantaeng, Bulukumba, Bone, Pangkajen Kepulauan, Pinrang, Tana Toraja, Mamuju, Majene, dan Enrekang. Bagi pencinta kopi, cita rasa kopi Toraja dianggap tinggi. Pendaftaran hak merk tersebut bisa mengancam kelangsungan hidup petani kopi di daerah-daerah tersebut.

Menurut UU, hak merk adalah hak atas tanda baik berupa gambar, kata, huruf, angka, susunan warna, atau kombinasinya sehingga dapat dibedakan dari benda sejenisnya untuk digunakan dalam kegiatan perdagangan. Artinya dengan mendaftarkan merk dagang berarti si pendaftar memiliki hak ekslusif terhadap mereka itu dan bisa menghambat masuk atau melarang peredaran kopi yang menggunakan kata Toraja. Maka bisa dipastikan orang Indonesia yang mengekspor kopi yang berasal dari Tana Toraja tidak bisa lagi memasukkan komoditas itu ke pasar Jepang dan AS. Si pendaftar bisa menggunakan merek tersebut untuk jangka waktu tertentu atau membuat ijin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum. Si pemilik merk dapat terdiri satu orang atau bersama-sama atau badan hukum. UU merek mengenal 3 jenis merk yaitu merk dagang (merk yang digunakan pada barang yang diperdagangkan untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya), merk jasa (merk yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya), dan merk kolektif (merk yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya). Merk kolektif terdiri dari merk jasa dan merk dagang. Jenis merk berdasarkan wujudnya adalah merk lukisan, merk kata, merk bentuk, merk bunyi-bunyian, merk judul.

Pendaftaran suatu merk, memberikan status bahwa pendaftar dianggap sebagai pemakai pertama sampai ada orang lain yang membuktikan sebaliknya. Artinya, ketika ada yang menggunakan merk yang sama, bisa digugat asal dengan pembuktian yang cukup. Pembuktian yang dimaksud adalah apakah kopi Toraja merupakan hasil temuan dengan dasar traditional knowledge? Pembuktian yang bersifat positivistik memang sangat menyulitkan bagi masyarakat adat karena mereka hidup tergantung pada alam. Mereka mempunyai persepsi bahwa keberadaan dirinya merupakan bagian dari alam sehingga demi keberlangsungannya harus menjaga alam dengan baik dan tidak mengenal unsur kepemilikan atas alam. Dalam benak masyarakat adat, tidak ada pemikiran bahwa apa yang ada di alam harus dimiliki secara individual sehingga pemanfaatan alam lebih dominan bersifat komunal.

Pandangan seperti itu sepertinya digunakan dengan baik oleh pemerintah dalam mengatur soal hak cipta. Dalam pasal 10 ayat 2 disebutkan bahwa Negara memegang hak cipta atas karya folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Dan apabila suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya dan belum diterbitkan maka negara memegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. Berkaitan dengan pasal tersebut, apabila warga yang bukan WNI ingin memperbanyak ciptaan tersebut maka harus terlebih dulu mendapatkan ijin dari instansi yang terkait dengan masalah tersebut.

Pengaturan mengenai hak cipta, hak merk dan hak paten tidak datang dengan sendirinya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di tingkat global seperti putaran Uruguay, AFTA/NAFTA, dll mempengaruhi (memaksa?) sebuah negara untuk mengikuti keputusan-keputusan tingkat global. Contohnya saja privatisasi maupun mengkomersilkan keanekaragaman hayati yang selama ini menjadi pegangan masyarakat adat. Keputusan mereka sendiri tidak dikonsultasikan kepada komunitas-komunitas adat. Hanya dengan orientasi pasar dan keuntungan, negara-negara kapitalis membuat aturan main yang lebih menguntungkan mereka. Putaran Uruguay tahun 1993 menghasilkan persetujuan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang mengatur soal perlindungan hukum atas indikasi geografis. Persetujuan ini mewajibkan negara anggota WTO untuk mematuhi standar minimun kepemilikan intelektual di bidang copyright dan hak-hak yang berhubungan dengannya (termasuk hak-hak penampil, pembuat rekaman dan organisasi penyiaran); trademark; desain industri; paten, termasuk paten varitas tanaman, dsb.

Dengan modal yang kuat, para pengusaha baik dalam maupun luar negeri bisa melakukan penelitian untuk mengetahui khasiat tanaman maupun mencari tahu lebih dalam pengetahuan-pengetahuan sebuah komunitas. Masyarakat adat, yang didatangi oleh para peneliti, bersedia dengan sukarela membagi pengetahuan tersebut kepada para peneliti. Namun balasannya adalah pengetahuan tersebut dikembangkan sedemikian rupa oleh para peneliti menjadi produk-produk yang diberi label natual, hiegienis dll sehingga mendatangkan keuntungan komersial yang sangat besar. Keuntungan besar tersebut tidak selalu dikembalikan kepada mereka, sang pemilik pengetahuan tersebut.

Menurut Arimbi, pedagang juga melakukan peniruan atas ukir-ukiran suku Asmat di Papua ataupun tenun ikat di NTB dan NTT. Tentunya dari peniruan tersebut mereka bisa mendapatkan keuntungan dan bahkan mengajukan hak paten atas desain yang mereka “ciptakan” (Arimbi, 2000). Bahkan banyak designer ternama yang mengedepankan nuansa etnik dalam desain mereka tanpa perlu meminta ijin kepada masyarakat pemilik motif tersebut. Padahal bagi masyarakat adat merupakan pantangan untuk meniru motif yang dipunyai oleh masyarakat adat lainnya. Sehingga kita bisa lihat dalam penenunan, ada perbedaan motif maupun corak. Corak juga mempunyai makna filosofi tersendiri bagi masyarakat adat.

Hukum belum mengakomodir apakah sekelompok kekerabatan bisa memperoleh hak cipta dan hak paten atau tidak ada pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan (invention) sehingga bisa menjadi obyek hak cipta dan hak paten. Bahkan HAKI dianggap sebagai bagian dari sistem kapitalis yang menegasikan prinsip religio magis yang banyak dianut masyarakat adat serta bersifat individual karena hanya memberi hak kepada seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan kebersamaan. Bahkan pemberian hak paten lebih banyak didominasi oleh perusahaan-perusahaan, badan-badan pemerintah, atau universitas yang mempekerjakan peneliti.

Upaya yang bisa dilakukan adalah pendaftaran kepada Ditjen Hak Atas kekayaan Intelektual dan mendorong pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum atas pengetahuan lokal masyarakat adat. Masyarakat adat pun didorong untuk mulai mendata potensi pengetahuan-pengetahuan lokal-nya. Untuk memenuhi dan memperjuangkan masyarakat adat atas pengetahuan lokal-nya, mereka harus mempunyai akses informasi, pengetahuan tentang hukum, dan sumberdaya uang.

Komunitas adat juga harus menyadari pentingnya mengawasi publikasi tentang pengetahuan mereka dan informasi tentang praktek-praktek pengelolaan sumber daya. Para peneliti juga harus diberi tahu tentang implikasi dari publikasi hasil penelitian mereka karena mereka tidak menyadari dengan demikian, pengetahuan tersebut menjadi public domain dan diluar kontrol komunitas maupun peneliti. Selain itu, masyarakat adat harus membuat kode etik, melakukan negosiasi dan membuat perjanjian dengan peneliti. Bisa saja komunitas adat membuat riset kolaborasi (community controlled research atau membuat panduan kontrak penelitian) dengan peneliti.

Reference

Heroe Poetri, Arimbi, “Aspek-Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual Masyarakat Adat”, makalah tidak diterbitkan.

LATIN. 1999. Dari Linnaeus Sampai Monsanto: Pembajakan Sumberdaya Hayati. Pax Benedanto (ed.), Penerbit Pustaka Latin, Bogor

Posey, Darell A and Graham Dutfield, Beyond Intelectual Property: Toward Traditional Resource Rights For Indigenous Peoples and Local Communities, Canada: International Development Research Center, 1996

Simpson,Tony, “Indigenous Heritage and Self-Determination”, Document – IWGIA No 86, Copenhagen

Tidak ada komentar: