Minggu, 17 Agustus 2008

Selamatkan Sumberdaya Hayati, Lindungi Rakyat dari Kekerasan

Pada tanggal 9-20 Februari 2004 di Kualalumpur, Malaysia akan berlangsung pertemuan ke tujuh para pihak untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati (Conference of Parties on The Convention on Biological Diversity/COP 7 CBD). Pertemuan ini, yang juga merupakan peringatan 10 tahun Konvensi ini, akan menekankan pada krisis ekologi yang terjadi di bumi. Target untuk tahun 2010 adalah penurunan tingkat kepunahan sumberdaya hayati di tingkat global, regional dan nasional. Fokus bahasan utama dalam pertemuan mendatang adalah mengenai fungsi kawasan konservasi dalam penyelamatan keanekaragaman hayati, ekosistem pegunungan, dan transfer teknologi.

Namun demikian, 10 tahun setelah konvensi ini diratifikasi, kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia kian memprihatinkan. Komitmen pemerintah di tingkat global sering tidak berarti apa-apa dalam prakteknya di tingkat nasional dan lokal. Salah satu ukuran yang sering dikutip dalam upaya penyelamatan sumberdaya hayati adalah penetapan kawasan konservasi. Namun cerita konservasi di Indonesia identik dengan konflik dan kekerasan.

"Konservasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan sumber kehidupan masyarakat. Namun, konsep kawasan konservasi di Indonesia justru menegasikan hak rakyat atas sumber kehidupannya. Berbagai komitmen global yang ditandatangani pemerintah hanya berlaku di atas kertas," tandas Longgena Ginting, Direktur Eksekutif WALHI.

Eskalasi konflik di kawasan konservasi timbul akibat penetapan kawasan konservasi yang sepihak dan menggunakan pendekatan fortress conservation (konservasi benteng), dimana masyarakat dianggap sebagai ancaman terhadap upaya konservasi dan karenanya dibatasi aksesnya ke kawasan tersebut.

"Pemerintah menegasikan hak rakyat atas kawasan yang telah turun temurun mereka huni dan kelola, tapi di sisi lain memberikan hak tersebut kepada pihak ketiga, seperti organisasi konservasi dan atau sektor bisnis, untuk memanfaatkan kawasan tersebut. Hal ini yang menyulut konflik dan menjadikan upaya konservasi sebagai momok bagi keberlanjutan hidup masyarakat," kecam Emil Kleden dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pedas.

Peminggiran hak masyarakat berdampak pada meningkatnya ancaman terhadap sumberdaya hayati itu sendiri. Masyarakat tidak merasa memiliki dan merasa berkewajiban untuk menjaga sumberdaya tersebut. Akibatnya, laju kerusakan sumberdaya hayati cenderung meningkat dari waktu ke waktu dengan skala global.

"Pemberian restu pemerintah kepada 22 perusahaan tambang skala besar yang akan membuka operasinya di kawasan lindung membuktikan bahwa kawasan lindung menjadi alat privatisasi pemerintah lewat penggusuran rakyat di sekitar kawasan, kemudian menggadaikannya kepada sektor bisnis. Model Pengelolaan Kawasan Lindung seperti ini menjadi ancaman bagi keselamatan rakyat dan menjadi penyebab utama Krisis keanekaragaman hayati itu sendiri," ungkap Siti Maimunah dari JATAM.

Sisi lain dari pemanfaatan sumberdaya hayati adalah teknologi rekayasa genetik. Teknologi rekayasa genetik yang seyogyanya direspon dengan kehati-hatian dini dinegasikan dampak negatifnya dan rakyatlah yang akhirnya harus menanggung dampak negatif dari keteledoran pemerintah. Contoh kasus yang masih segar dalam ingatan adalah kasus pelepasan tanaman kapas transgenik oleh Monsanto di Sulawesi Selatan tanpa melalui kajian resiko dan manajemen resiko serta tanpa adanya peraturan keamanan hayati.

"Mengingat ancaman komersialisasi produk rekayasa genetik terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat Indonesia, maka Indonesia perlu segera meratifikasi Protokol Keamanan Hayati dan membuat peraturan keamanan hayati dalam bentuk undang-undang. Sebelum ada undang-undang keamanan hayati terwujud, sudah seharusnya pemerintah menghentikan segala bentuk uji lapang atau pelepasann komersial produk transgenik,"ungkap Tejo Wahyu Djatmiko, Direktur Eksekutif Konphalindo. Karenanya WALHI, AMAN, JARING PELA, JATAM dan KONPHALINDO mendesak kepada pemerintah RI, khususnya delegasi RI untuk COP 7 CBD untuk:

  • Mengubah tata laksana hukum, kebijakan dan program konservasi sumberdaya hayati agar memberikan perlindungan dan hak kepada rakyat untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hayati dan kawasan konservasi.
  • Memberikan komitmen untuk tidak memprivatisasi kawasan baik lewat
    konsesi maupun alih fungsi menjadi kawasan eksploitasi dengan menyatakan Kawasan lindung tidak untuk privatisasi.
  • Menghentikan upaya perluasan kawasan konservasi sebelum konflik hak
    atas tanah dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat yang berada di kawasan konservasi diselesaikan.
  • Meratifikasi protokol Cartagena untuk menjamin prinsip kehati-hatian dini sehubungan dengan teknologi rekayasa genetik dan segera membuat UU Keamanan Hayati.
  • Menjamin akses dan kontrol masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya hayati secara berkelanjutan.
  • Melaksanakan prinsip 'sama tapi berbeda tanggungjawab' ('common but
    differentiated' responsibility) untuk semua pihak yang terkait dan berkepentingan dalam konservasi sumberdaya hayati.
  • Menggalang solidaritas antar negara selatan untuk lebih memperketat
    peraturan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hayati
http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/selamt_sdhayat_lindung_rakyt_090204/

Tidak ada komentar: